Friday, July 30, 2010

KERUKUNAN ANTARA UMAT PELBAGAI AGAMA

A.POKOK KEPRIHATINAN
Pertemuan HAK Regio Jawa Juli 2010 mengandung dua tujuan: 1). Refleksi pelayanan Komisi HAK Keuskupan dan pemikiran tentang masadepan; 2). Mencari arah pelayanan penyiapan imam yang bersemangat dan mampu berdialog secara tepatguna dan berhasilguna.
1). Refleksi apa yang sudah dilakukan sejauh ini: dalam ‘sharing’ awal secara terbuka, banyak yang nyatanya sudah melakukan dialog (walau juga ada yg eksklusif); dari refleksi awal maupun sharing para pendamping konvik (walau peserta hidupbakti tak cukup terwakili) yang didahului refleksi FT Wedhabhakti (Rm. Purwatma), tampak bahwa sudah banyak yang dilakukan dari sudut personal maupun struktural, dari sudut perseorangan maupun komuniter, dari sudut hidup komuniter maupun kurikuler, dari arah seminari maupun komisi. Meskipun demikian dicermati, bahwa kurang adanya perwujudan dialog yang tertata, terencana dan terefleksikan dengan regular; dirasakan belum optimalnya corak kehadiran imam dalam masyarakat, pola penyediaan program didik seminari maupun kebersamaan antara seminari dengan pelayanan-didik akademik. Oleh sebab itu timbul sejumlah pemikiran mengenai bagaimana imam dapat disiapkan untuk menjadi insan dialog dan fasilitator dialog di tengah umat/masyarakat. Di dalamnya ada sejumlah bahan pembicaraan yang perlu kita perhatikan dalam dialog dengan rekan Islam (juga ‘Yang Lain’? ritual, sosial, kemanusiaan dan spiritual, yang mencakup segi-segi serebral, cordial dan actual: lihat bagian khusus!).

2). Arah Penyiapan imam:
a). Inti Penyiapan: ada beberapa penyiapan yang perlu dicermati seperti segi bahan dialog, organisasi, psikhis, sosiologis, kultural, politis dan spiritual. Dari padanya, segi spiritual diharapkan menjadi landasan paling inti. TUJUANNYA: agar calon imam menyadari bahwa iman pada dasarnya dialog (DV 2-6) dan bahwa LG 8 mendasari ekumene dan dialog yang dilanjutkan dalam LG 14-17 serta UR dan NAe maupun DH. Dalam hal ini GS 1 dan 4 dapat memberikan peluang real untuk situasi dan kondisi Indonesia, khususnya Jawa (plus?), sebab GS 92 mengingatkan hal-hal manusiawi yang baik dalam agama lain.
b). Langkah2 Penyiapan Imam yang bersemangat dan mampu berdialog:
1/. Bahan dialog: mencari hal-hal yang sama dalam perspektif kita dan perspektif saudara-saudara yang dari agama lain (pemahaman tentang Yang Ilahi, Kitab Suci, Rasul/Nabi, Rukun Islam/Iman). Itulah kemampuan menemukan jembatan2 penghubung antara kita dg umat dari Gereja dan agama lain (kerangka komunikasi melalui keempat kategori: ritual, sosial, kemanusiaan dan spiritual); menciptakan sarana2 penghubung yang kontekstual (alamat, peta sosio-religius, pengetahuan dasar tentang Gereja/agama lain, sarana elektronik dsb).
2/. Organisasi: Langkah mendidik adalah berbagi kesadaran diri atas dasar pengalaman hidup agar sesama dapat lebih sadar diri, tahu diri dan mampu menempatkan diri di tengah sesama maupun diri serta akhirnya dapat secara aktif ikut serta membangun masa depan bersama. Diandaikan ada pengorganisasian bahan maupun usaha. Untuk itu diperlukan suasana rumah dan struktur persekolahan yang memang membantu calon imam memperoleh integritas katolik yang tangguh namun terbuka pada umat lain.
3/. Psikhis:
a/. Psikhologi Kepribadian: Dialog adalah peristiwa yang terjadi apabila ada komunikasi dua orang atau dua pihak yang berbeda kondisi dan pandangannya. Dari sudut kesadaran diri kita tersebut, maka setiap dialog adalah proses komunikasi antara pribadi (dua atau lebih).
b/. Psikhologi Massa: Pendidikan dialog lintas-iman adalah proses harian yang dimulai dari orang yang ditugasi untuk mendidik dan intinya ‘berbagi pengalaman’ dst. Sementara itu calon imam hidup (dididik) dalam kondisi yang menciptakan sikap psikhis tertentu, yang sebagian menguatkan tetapi sebagai membuatnya rapuh menghadapi situasi baru. Calon imam atau imam (muda) perlu dilatih untuk menanggalkan situasi mapan dan berani menceburkan diri ke situasi berisiko. Dalam hal ini, suatu formation tidak diharapkan lengkap tuntas dalam segala segi, melainkan membekali dengan sikap dan mentalitas matang utk menghadapi tantangan massa, yang sering tidak sesuai dengan dugaan.
4/. Sosiologis: kita hidup dlm masyarakat majemuk dari sudut agama, budaya, ekonomis dan lingkungannya kebanyakan miskin. Mau atau tidaknya orang ber-dialog, sering menjadi soal politis atau soal ekonomis. Suatu latihan analisis sosial menjadi bekal penting bagi calon imam.
5/. Budaya pendidikan: Setiap pendidikan pada dasarnya merupakan dialog. Diperlukan pengolahan metodik-didaktik yang terbuka pada dialog antara calon imam dengan para pendamping2nya: melalui bimbingan rohani maupun pelayanan pendamping2.
6/. Kemanusiaan mendalam: Dengan kesadaran Kepancasilaan setiap manusia Indonesia tahu bahwa hidupnya bersama orang lain sehingga diakui bahwa dialog itu suatu fungsi manusiawi bagi setiap manusia; maka pertemuan kita lebih memperdalam dan mensistematisasikan sejumlah pengalaman dan pemikiran tentang dialog; bukan mulai dari kertas kosong;
7/. Keberimanan gerejawi: Sejak awal ditegaskan bahwa Gereja secara hakiki adalah dialog. Memang orang beriman hanya beriman kalau berdialog terus. Sebab iman adalah dialog manusia dengan Allah (DV 2-6). Dialog itu sesuatu yg natural; juga dialog yang melintasi batas-batas iman dilakukan Gereja sbg paguyuban umat beriman yang berkomunikasi dg orang beriman beraneka ((bdk LG a.1). Konteksnya adalah bahwa Gereja kita hidup dalam diaspora: tersebar di tengah masyarakat. Hidup dalam diaspora menuntut komunikasi terus menerus. Komunikasi itu dengan kesadaran akan isi ajaran agama lain yang perlu kita ketahui dan hargai. Dalam hal ini Gereja modern ingin menjadi bagian yang disambut baik oleh masyarakat (Kis 2: 47).
Untuk itu diperlukan sikap eklesiologis yang baru yi integritas terbuka. Dengan mentalitas eklesiologis Vatikan II itu kita dapat mencoba terus untuk memaknai simbol publik (atau agama lain) dengan kacamata iman yg sehat. Spiritualitas dialogis diperlukan supaya integritas terbuka itu.
Dalam kesadaran itulah, dialog merupakan kebutuhan sekelompok orang yang beriman kepada Yesus Kristus, karena diutus (Kis 1: 7-8)) menjadi saksi persahabatan Sang Putera; juga kepada musuh (mereka yang tidak suka kepada kita). Maka kita menyambut baik FIRA V, 2004 bahwa dialog itu tak hanya mungkin tetapi kita hayati sebagai ‘pengutusan’ dari Sang Kristus kepada setiap muridNya.
Hal itu perlu melimpah pada suatu pemahaman serta penghayatan panggilan imam yang dialogis. Pendekatan ini membawa kita untuk membaharui imamat dalam tritugasnya. Teologi mengenai Imamat Umum perlu diintegrasikan secara lebih utuh.
8/. Buahnya: Dalam dialog yang terjadi dengan pengertian akurat, kompetensi yang memadai, kita dapat menghadirkan paguyuban umat beriman yang signifikan bagi sesamanya (begitulah martyria terjadi) dan lalu Gereja relevan bagi sesama rakyat (begitulah koinonia sejati terjadi). Begitulah Inkulturasi (membenamkan umat dalam masyarakatnya) jadi penting utk pewartaan (kerygma). Hal itu dapat terwujud kalau Gereja sebagai persekutuan sungguh melakukan dialog dalam dirinya (dialog internal menjadi tumpuan dialog eksternal). Pelaksanaanya dapat juga dengan dialog karya dan dialog kehidupan (diakonia dan koinonia), yang kita syukuri dalam leitourgia.

B.ANEKA PEMIKIRAN YANG LEBIH LONGGAR:

1.DIALOG SEBAGAI PROSES DIDIK. Memang dialog sejati harus sampai menembus “dunia kedua belah pihak” Dan sejauh itu mewujudkan proses saling mendidik. FIRA I, 2.6 – 2.7: dialog itu proses. Dalam pengertian itu dapatlah dipahami bahwa dialog tidaklah monolitis dan sekali jadi, melainkan mengandung beberapa lapisan: lapisan simbol-verbal, lapisan tafsir simbol, lapisan kultur, lapisan etis, lapisan spiritual. Tanpa lapisan simbol-verbal, komunikasi sulit untuk tuntas. Cakrawala itu menolong kita memahami FIRA I, 2.9 yang mengatakan bahwa: dialog merupakan proses pencerahan (bdk Deus Caritas Est dan Caritas in Veritate). Namun dari rangkaian simbol verbal itu setiap pemula wacana maupun penerima wacana senantiasa memilih sejumlah tafsir simbol tertentu. Dialog hanya mungkin terjadi kalau dalam pertukaran simbol verbal itu kedua belah pihak saling mengerti adanya tafsir simbol itu, walau pun belum tentu menerimanya (cukup mengakui adanya tafsir simbol itu). Lapisan kedua tadi dimungkinkan oleh adanya kancah bersama, yang disediakan oleh lapisan kultur. Lapisan kultur yang penting adalah ‘lingua franca’ yang dipahami bersama oleh kedua sisi dialog. Namun penggunaan lingua franca yang sama perlu dilaksanakan dengan lapisan etis, yang pada dasarnya meletakkan orang-orang atau pihak-pihak yang berdialog pada ‘lantai komunikasi’ yang sama karena saling menerima sebagai rekan komunikasi yang setara. Cara berbicara dapat berlainan dan nada bicara pun dapat berbeda-beda, tetapi kedua sisi berdiri dan diterima sebagai berdiri pada lantai yang sama tinggi-rendahnya. Yang terakhir, sangat penting bagi dialog antara orang-orang atau pihak-pihak yang agamanya beraneka, yaitu bahwa kedua sisi itu berbicara dengan ruh yang sama, lapisan spiritual. Artinya kedua sisi itu dijiwai oleh iman bahwa sedang membicarakan relasinya dengan Yang Mahaagung: yang jauh melampui dirinya dan agamanya; jadi dengan penuh hormat kepada Yang Mahabesar.
Lapisan-lapisan dialog tersebut diperlukan, kalau suatu dialog lintas agama akan berjalan dengan realistis namun dalam spirit yang sehat. Proses itu sendiri sudah senantiasa edukatif: entah bagi generasi muda entah bagi siapa pun.

2.TAHAP-TAHAP DIALOG EDUKATIF: latihan dan praksis dialog dapat sudah mulai dalam keluarga, dilanjutkan di sekolah dasar, diperdalam di seminari menengah, dilengkapi dalam seminari tinggi, mulai dilaksanakan secara publik pada masa imamat awal dan direfleksikan serta diperkaya dalam ongoing formation (Unsur-unsur yang tampaknya berkali-kali disebut sebagai perlu dibentuk terus menerus adalah ‘motivation-building’, acara kurikuler maupun ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler; kesempatan regular maupun insidental dst). Faktum bhw penghuni seminari itu majemuk sebenarnya dapat menjadi tumpuan pendidikan dialog; apalagi ada semti diosis dan tarekat yang anggotanya berjumpa di sekolah: dialog internal menjadi tumpuan dialog eksternal.

3.LAPISAN-LAPISAN PEWUJUDAN DIALOG: Lapisan pertama adalah tahap hidup berdampingan – seadanya. Untuk itu harus diusahakan untuk mengenal tetangga. Juga diperlukan membangun relasi dengan pemangku tugas publik. Lapisan kedua adalah tahap hidup berdampingan dengan saling berkomunikasi mengenai hal-hal yang sehari-hari/informal (di sini kedua sisi sudah mulai memasuki dunia yang ‘lain’); termasuk juga: hadir dlm pertemuan formal tanpa banyak diskusi. Lapisan ketiga adalah hidup berdampingan dengan menyadari adanya perbedaan. Lapisan keempat adalah hidup berdampingan dengan menerima adanya perbedaan. Lapisan kelima adalah membuka diri untuk mempelajari posisi pihak lain. (LG a.8.) Maka FIRA V, 2004 mengajurkan untuk memberikan informasi tentang agama lain. Lapisan keenam adalah mengakui adanya sejumlah hal baik dalam pihak lain. (bdk FABC V: LG a.8). Lapisan ketujuh adalah mengintegrasikan hal-hal baik dari pihak lain ke dalam diri sendiri. Pastores Dabo Vonis 52 menganjurkan kita mempelajari agama lain. PPCII bagian Seminari Tinggi 35,2: studi mendalam ttg agama2 dan relasi dg masyarakat. Lapisan kedelapan adalah melanjutkan komunikasi mengenai pelbagai ‘common concern’ dengan memakai ‘common goods’ dari kedua belah pihak. Nostra Aetate 2 mengajak kita kerjasama dengan orang beragama lain. Lapisan kesembilan adalah mengembangkan sejumlah pendirian yang dapat memperdamaikan sejumlah hal yang semula dirasakan sebagai berbeda. Lapisan kesepuluh adalah terus menerus berkomunikasi kendati dirasakan adanya pelbagai perbedaan. Memperhatikan lapisan-lapisan itu dapat menolong kita untuk tidak frustrasi karena mengharap hasil terlalu cepat dalam dialog, melainkan terus optimistis untuk melangkah.

4.SIKAP DASAR DIALOG EDUKATIF. Untuk berdialog diperlukan persiapan. Pertama-tama perlu dibangun sikap sadar diri dalam keterbukaan dalam batin. Sikap ini membuat manusia mengarah ke luar dirinya; bukan sibuk dengan dirinya sendiri saja. Langkah pertama ini penting agar orang siap untuk meninggalkan ‘ranah aman’ dalam dirinya sendiri. Yang kedua, orang bersikap memperhatikan yang ada di luar dirinya. Sikap ini menunjukkan bahwa orang mempunyai minat pada yang ada di luar dirinya atau kelompoknya. Juga ‘hal2 intelektual di luar kita’ (FIRA V, 2004). Yang ketiga, orang menciptakan gerak batin antara dirinya dengan yang ada di luar dirinya. Sikap ini mengaktifkan potensi relasi antara pribadi dan pihak-pihak yang berkomunikasi. Yang keempat, kesediaan untuk membangun sikap tulus. Sikap ini mau menghadapi proses dialog secara tanpa pamrih mencari keuntungan lain dari pada komunikasi. Sikap kelima, menghadapi rekan dialog dengan sikap percaya pada pribadi partner. Dengan sikap ini tercipta jembatan personal. Sikap keenam, sikap mengambil tempat yang ‘fair’ dalam perbincangan. Kita mudah sekali membandingkan segi baik kita dengan segi buruk pihak lain. Itu tidak fair. Kita berdiri sejajar. Duduk berdampingan secara ‘fair’. Maka kita memperlakukan sesama secara setara. Sikap ketujuh adalah mau belajar dan rela menerima sehingga dialog mengembangkan diri sendiri juga. Mempedulikan pembangunan sikap ini dapat menolong kita untuk mulai dialog dengan mengubah diri.
Untuk itu diperlukan kecermatan kurikulum (motivasi – iman/psikhologis, isi: iman dan wahyu serta dimensi; perubahan sikap hidup mis exposure; struktur sekolah dan struktur hidup mahasiswa di ‘rumah’ maupun di seminari; juga doa bersama dan kerjasama intelektual maupun social dg menggunakan media; kuliah itu eksplisitasi dr pengalaman)!

5.PENCIPTAAN STRUKTUR STRATEGIS PENDUKUNG DIALOG EDUKATIF. Tidak cukup kita menuntut perseorangan untuk membangun sikap dialog. Diperlukan juga penciptaan struktur-struktur hidup bersama yang secara strategis mendukung proses dialog. Komunitas/konvik lebih bertugas memfasilitasi terbentuknya sikap dasar seorang beriman yang hidup dalam masyarakat majemuk. Dari diskusi ada harapan pembentukan “pribadi yang dialogis”. Sekolah (STF/T) lebih memfasilitasi refleksi sistematis mengenai pengalaman dialog itu. Para rektor, dekan dan petugas perpustakaan dapat memfasilitasi komunikasi lintas iman. Untuk keduanya ada beberapa butir penting: Pertama-tama diperlukan suasana kultural yang bersahabat antara segala rekanan. Suasana itu menuntut staf seminari maupun stft membangun suasana dialogis. Suasana itu harus tampak dalam relasi personal maupun struktur hidup bersama. Kedua disusun pranata yang mendorong komunikasi dan memberi sanksi pada perusakan komunikasi. Pranata dialogis penting baik utk komunitas maupun sekolah. Harapannya: tercipta habitus dialogis sehingga sejak studi sampai nanti bekerja memiliki sikap dasar dan langkah2 ajeg berdialog. Ketiga, dorongan untuk sering membangun inisiatif-inisiatif masyarakat dalam berkomunikasi dengan mendukung usaha dan menghambat pertentangan. Sebab komunikasi pertama-tama merupakan sikap batin dalam masyarakat. Meskipun demikian diperlukan sekali pelatihan ketrampilan-ketrampilan dialog. Keempat: Keuskupan dan Tarekat-tarekat menunjuk tim (sedapat mungkin juga seseorang ahli) yang menggerakkan semangat dialog dalam pelayanannya, sebagaimana dianjurkan dalam Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia (1970). Dalam keempat langkah itu, Komisi HAK dapat berperan sebagai fasilitator dalam pelbagai langkah strategis itu.

6.SIMPULAN BAHAN PEMBICARAAN DENGAN SAUDARA MUSLIM (DAN LAINNYA?): (serebral-cordial-actual)
a.Lapisan ritual
b.Lapisan sosial
c.Lapisan kemanusiaan
d.Lapisan spiritual

(B.S. Mardiatmadja. besmar@indo.net.id. Tel 021-4209377. Fax: 021 4224866).

Sunday, May 23, 2010

SEMINAR KEBANGSAAN dan BUDAYA



Pasuruan - Ibu Shinta Nuriyah Wahid membuka Seminar Kebangsaan dan Gelar Budaya Lintas Agama di Pondok Pesantrean Ngalah, Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur, Sabtu.

Kegiatan tersebut bekerjasama dengan Universitas Yudharta Pasuruan dalam menyambut Hari Kebangkitan Nasional ke-102.

Selain itu juga atas kerjasama dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Timur, Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG) Jawa Timur, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Jawa Timur.

Seminar yang bertema "Memperkokoh Nilai-nilai Pluralisme dan Multikultural Menuju Peradaban Dunia yang Damai dan Bermartabat" menampilkan pembicara Ibu Shinta Nuriyah Wahid dan Rev. Jasperp Slob dari Bekanda.

Selain itu juga Ketua Umum Parisada Hindu Jawa Timur, I Made Gde Erata, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (1993-2002), Chandra Setiawan, dan Ketua Umum Majelis Budhayana Indonesia, Sidhamek (diwakilkan).

Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja, Romo Antonius Benny Susetyo, dan Ketua Umum PBNU, KH Said Agil Siradj.

Ketua Panitia Seminar, KH Moh. Sholeh Bahrudin yang juga Pengasuh Pondok Pesantrean Ngalah Purwosari mengatakan, seminar digelar untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ia menyebutkan, di Indonesia tidak mengenal sebutan minoritas dan mayoritas. "Yang ada pluralisme," katanya.

Ia menjelaskan, tidak ada perbedaan, tapi yang ada adalah kebersamaan demi NKRI, sehingga wajar jika umat beragama di Indonesia bisa melaksnakan ibadahnya dengan aman dan tenang.

Wakil Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf berharap, kegiatan semacam ini bisa dikembangkan lebih luas lagi hingga daerah-daerah lain di Jawa Timur. Sehingga kegiatan yang diprakarsai Pondok Pesantrean Ngalah Purwosari ini sangat membantu meringankan tugas pemerintah, karena kerukunan kehidupan beragama tetap berjalan dan lestari.

Ibu Shinta Nuriyah Wahid bersama para tokoh lintas agama juga membacakan Ikrar Kebangsaan yang isi lengkapnya sebagai berikut.

Dengan rahmat Tuhan Yang Mahaesa, kami para tokoh Agama, Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu menyatakan, pertama, wajib mempertahanakan dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah naungan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Kedua, wajib ikut berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Ketiga, wajib menciptakan pranata kehidupan yang rukun dan damai diantara umat beragama.

Sebelumnya dalam kesempatan tersebut juga digelar berbagai kesenian dan kebudayan yang ditampilkan dari berbagai latar belakang etnis, maupun agama. Diantaranya, atraksi Barongsai, serta Tari Bali.

Sunday, May 16, 2010

VIRUS TEKNOLOGI

Pengembara dalam ruang dan waktu …..

Suatu ketika seorang suami datang pada saya sambil “ngudha rasa” (baca ngudo roso) atau bahasa kerennya curhat: “Waduhh payah banget setelah istri saya punya BB (bukan Bau Badan, tapi Blackberry) sekarang bener-bener tidak punya waktu untuk saya dan anak-anak. Kayaknya sekarang udah kecanduan BB. Tiada waktu terlewatkan jempol dan jari-jarinya mencet-mencet tombol BB. Anak-anak nangis dibiarin, sapaan-sapaan saya dicuekin. Urusan pekerjaan terbengkelai, waktunya tidur malah begadang. Ck ck ck ck payah…payah”.

Ungkapan seorang suami ini bagi saya sangat menarik menjadi suatu permenungan yang mendalam. Yahh…kebetulan saja, beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah artikel The power of the individual in the information age” mengenai kedahsyatan teknologi untuk orang jaman sekarang. Seorang pakar teknologi “Giddens” menyebut bahwa masyarakat kita dewasa ini adalah masyarakat “pengembara dalam ruang dan waktu.” Artinya dalam hidup dengan segala pernik-perniknya kita tetap berpetualang dengan ruang dan waktu. Tentu saja pengembaraan tersebut pasti ada dampak positif dan negatifnya. Sekarang tergantung bagaimana kita memiliki disposisi batin untuk melihat segala sesuatu dengan jernih. Secara tidak sadar, kita akan diperbudak teknologi kalau kita tidak tahu diri dengan keberadaan kita. Kita masih ingat beberapa perkembangan teknologi: berawal ditemukannya telepon di tahun 1876, secara tidak langsung sangat mempengaruhi dunia yang semakin meng-global dengan segala pernik-pernik teknologi. Kemudian dengan ditemukannya komputer elektronik pertama pada tahun 1942 di Amerika Serikat. Berlanjut dengan Rusia yang meluncurkan satelit bumi pertama Sputnik pada tahun 1957. Tahapan tersebut, sampailah pada suatu perkembangan yang semakin inovatif dan canggih. Hingga sekarang berbagai peralatan teknologi media digital dapat dengan mudah ditemukan dimana-mana dengan harga yang mulai terjangkau. Dan menurut pemahaman saya pribadi, kesemuanya itu pada intinya sampailah pada satu titik simpul yang bermuara pada sebuah revolusi teknologi komunikasi dan teknologi informasi bagaikan bom yang meledak dengan molekul-molekul dan atom-atom di dalamnya yang akan tercerai-berai. Siapkah kita sebagai orang beriman menangkap peluang dan kesempatan menggunakan teknologi?

Pesan Paus Benediktus XVI …

Menarik sekali apa yang dipesankan Paus Benediktus XVI dalam Minggu Komunikasi sedunia hari ini, yang secara khusus pada tahun imam menjadi permenungan para imam:

Perkembangan dunia digital dan teknologi baru merupakan sumber daya yang besar bagi manusia secara keseluruhan dan setiap individu sebagai daya dorong untuk perjumpaan dan dialog. Perkembangan ini juga memberikan peluang besar bagi orang beriman. Tidak ada pintu yang dapat dan harus ditutup bagi setiap orang yang atas nama Kristus yang bangkit, memiliki komitmen untuk semakin mendekatkan diri kepada orang lain. Secara khusus bagi para imam, media baru ini memberikan kemungkinan pastoral yang baru dan kaya, mendorong mereka untuk melibatkan diri ke dalam universalitas perutusan Gereja, membangun persahabatan yang luas dan konkrit serta memberikan kesaksian di dunia jaman kini tentang hidup baru yang berasal dari mendengar Injil Yesus, Putra Abadi yang datang demi keselamatan kita. Seiring dengan itu, para imam mestinya mengingat bahwa keberhasilan utama dari pelayanan mereka datang dari Kristus sendiri, yang ditemukan dan didengar dalam doa, diwartakan dalam kotbah, dihidupi lewat kesaksian; dan diketahui, dicinta dan dirayakan dalam sakramen-sakramen, khususnya sakramen ekaristi dan rekonsiliasi.

Kasih Allah kepada semua orang dalam Kristus mesti diungkapkan dalam dunia digital bukan sekadar sebagai benda kadaluwarsa atau teori orang terpelajar tetapi sebagai sesuatu yang sungguh nyata, hadir dan melibatkan diri. Oleh karena itu, kehadiran pastoral kita di dalam dunia seperti itu harus bermanfaat untuk memperkenalkan orang-orang jaman sekarang teristimewa mereka yang mengalami ketidakpastian dan kebingungan, ‘bahwa Allah itu dekat, bahwa di dalam Kristus kita semua saling memiliki' (Benediktus XVI, Untuk Curia Romana, 21 Desember 2009)

Dampak positif dan negatif dari Teknologi ….

Tidak bisa dipungkiri bahwa, pesatnya perkembangan teknologi media digital misalnya seperti pada komputer yang terkoneksi pada jaringan internet, handphone, televisi digital, kamera digital, radio digital dan lain sebagainya, hal tersebut akan membawa dampak positif maupun negatif yang dapat mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Mari sejenak kita liat beberapa dampak positif dan negatif dari teknologi saat ini:

Dampak Positif …

Pesatnya perkembangan media digital secara nyata akan membawa suatu pola pikir, sikap dan tindakan / perilaku bagi setiap individu. Dalam wacana praktis, perubahan tersebut paling tidak, akan membawa individu ke dalam pola hidup yang menurutnya efektif dan efesien. Alasan dasar inilah bisa dipahami bahwa perkembangan media digital merupakan media pencerah peradaban yang lebih maju. Yang jelas pada arah ini, perkembangan media digital akan membawa dampak positif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Media digital sebagai sebuah aset terutama dalam hal revolusi teknologi komunikasi dan informasi, maka ada kecendrungan membawa harapan-harapan berupa:

- Kemajuan dalam pengolahan informasi dapat memperluas daya bakat dan kemampuan manusia (human talent).

- Sistem-sistem yang baru akan menjamin kenyamanan pribadi yang lebih besar pada individu, suatu rumah yang lebih aman, dan bahkan” kesepian yang dialami bekurang.”

- Masyarakat akan menulis lebih baik dan lebih cepat dan menyimpan dan berhubungan dengan ide sacara lebih baik.

- Individu akan menikmati bukan sekedar effisiensi yang lebih tinggi dalam melakukan tugas harian, tapi interaksi yang lebih besar dengan orang dan kepentingan yang lain, jadi merangsang kreatifitas dan partisipasi pribadi.

- Pendidikan dapat dibuat lebih demokratis: metoda mengajar dengan menggunakan computer akan bersifat responsive kepada individu, kepada kebutuhan dan gaya belajar siswa tertentu.

- Karakteristik sebagian besar dari penanganan informasi saat ini yang membosankan akan dapat disembuhkan, membebaskan untuk menggunakan waktu pada kreatifitas yang tinggi.

- Teknologi yang lebih efesien akan membantu pekerjaan informasi lebih produktif.

- Informasi pasar lebih mudah diperoleh, menghasilkan transaksi yang lebih efesien dan langkah yang lebih persis untuk memperbaiki kegagalan.

- Penyampaian jasa akan menjadi lebih murah, sebab sistem baru memperluas “kehadiran” penyedia jasa dan membantu dalam membangkitkan pasar.

Dampak Negatif

Apabila kita menjadi realistis dengan situasi teknologi saat ini, dampak pesatnya media digital paling tidak akan membawa beberapa dampak perubahan negatif seperti:

- Membudayanya budaya massa dalam suatu komunitas masyarakat, dimana pola kehidupan yang dinamis ditimbulkan karena adanya keinginan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

- Rasa sosial terhadap lingkungan sekitar menjadi acuh. Media digital (Handphone/ BB, internet bisa mendekatkan yang jauh, tetapi bisa menjauhkan yang dekat.

- Terjadinya polusi informasi.

- Merebaknya kejahatan teknologi seperti pelanggaran hak cipta / pembajakan, cybercrime (kejahatan maya).

- Tumbuhnya sikap hedonisme dan konsumtif. Mentalitas sikap ini akan merebak begitu pesat dalam diri anak-anak, ibu-ibu dan siapa saja yang tidak menyadari akan disposisi batin atas “keberadaan-nya”.

Masih ada Harapan …

Kita masih tetap dalam pengharapan bahwa bagaimanapun dunia yang semakin mengglobal dengan disertai pesatnya perkembangan media digital apabila disikapi secara arif, cerdas dan bijaksana, maka yang terjadi adalah dampak positif akan berpihak pada diri kita, begitu pula sebaliknya kalau penggunanya tidak lagi memanfaatkan dengan benar dan bertanggung jawab pasti buah-buah negatifnya yang didapatinya. Oleh karena itu, tampaknya kita harus berkontemplasi/ merenung sejenak bahwa, “sebenarnya perkembangan globalisasi yang salah satunya ditandai adanya perkembangan media digital yang serba canggih tidaklah berbahaya, ketika kita tahu bagaimana memposisikannya dengan tepat. Tentu saja ini akan menjadi kunci “alat control” yang sangat penting. Bagaimanapun disposisi batin “keberadaan” kita, entah itu sebagai imam, biarawan-biarawati, suami, isteri, orang tua, pelajar, anak, pekerja tertentu, dsb. Maka apa yang dipesankan Paus Benediktus XVI mengajak kita semua untuk selalu melihat dan menyikapi dengan jernih setiap kehadiran perkembangan teknologi. Teknologi yang serba canggih bisa menjadikan kita berkualitas dan hidup baik, ketika kita memanfaatkan dengan baik dan bertanggung jawab. Akan tetapi bisa terjadi sebaliknya, ketika kita tidak memanfaatkan teknologi dengan tidak baik dan tidak tanggung jawab runyamlah kualitas hidup kita. Sudahkah dengan teknologi media digital kita semakin dekat dengan Tuhan dan sesama (suami, istri, anak-anak, rekan kerja, sahabat, dsb)??? Awas Virus !!! Teknologi apapun bisa mendekatkan orang yang jauh, tetapi bisa menjauhkan orang yang dekat.

Dominus Vobis Cum.


(Sumber: Buletin Mingguan "Aggiornamento" Edisi 58 - Paroki St. Antonius Padua)