Thursday, February 28, 2008

SEMUANYA BOLEH???

Hidup kita tidak Hitam-Putih….

Apa yang kita mengerti tentang pertimbangan soal baik buruk dalam hidup? Kita menemukan bahwa hidup kita tidak hitam-putih. Maksudnya tidak benar-benar jelas perbuatan ini baik atau buruk. Kita menemukan banyak daerah abu-abu dalam hidup kita.

Orang yang hati-hati sering ragu-ragu dan bingung apakah melakukan hal itu atau ini boleh atau tidak. Orang yang tidak ‘pedulian’ (tidak memiliki rasa) akan masa bodoh dengan pertimbangan, "yang penting aku senang-aku menang".

Lalu, kita harus bagaimana? Kita menjadi orang yang masa bodoh saja biar tidak bingung-bingung: toh tidak ada orang yang melarang? Tetapi apa artinya kita menjadi orang Katolik kalau sama saja dengan yang bukan Katolik?

Tidak Sekedar Permainan.....

”Suatu ketika ada rekoleksi untuk anak-anak SMA: para peserta saya minta menggambar gelas sebanyak-banyaknya dalam waktu tertentu. Mereka lalu menunjukkan jumlah, bentuk, ukuran gelas yang berhasil digambar. Dari hasil dan berbagai komentar ternyata pada umumnya mereka menggambar gelas dengan model dan ukuran yang sama”.

Seringkali dalam hidup kita menunjukkan bahwa masih banyak di antara kita yang memandang bahwa hidup ini hitam-putih. Kesadaran bahwa ada daerah abu-abu yang berisikan aneka alternatif belum muncul. Kita menggambar satu model yang sama tidak ada alternatif model. Mengapa tidak menggambar aneka model gelas atau bahkan menggambar pabrik gelasnya sekalian? Hidup ini tidak hanya satu model menurut yang kita pikir. Kalau kita melihat di luar, ada banyak alternatif yang dapat diambil dalam hidup.

Mengapa bisa ada banyak alternatif? Alasannya manusia dikaruniai kehendak bebas oleh Allah. Karena kehendak bebas itu manusia dapat berbuat apa saja dalam hidupnya. Manusia bebas menjadi apa saja. Karena kebebasan ini, sebagai contoh, kita melihat ada aneka macam model baju padahal sebenarnya tujuannya hanya satu saja yakni menutup apa yang harus ditutup.

Karena kebebasan itu, Allah memberi hukum dasar yakni: buatlah yang baik dan hindarilah yang buruk. Hukum itu disebut sebagai hati nurani subjektif. Hati nurani subjektif adalah kata hati yang memuaskan dan mengikuti apa yang menjadi keinginan dan kehendak kita.

Hati nurani subjektif berfungsi untuk memutuskan tindakan, misalnya: saya ingin beli bakso; karena saya punya uang maka saya memutuskan untuk beli bakso; bagaimana kalau tidak punya uang: ya tidak jadi beli. Tetapi orang yang hati nuraninya tumpul pasti nekat menarget teman, memaksa, atau mungkin mencuri.

Seringkali sebagai orang Kristiani yang belum mempunyai banyak pengalaman, dalam memutuskan sesuatu kita tidak memandang adanya alternatif bertindak lain. Kita bertindak hanya dengan satu konsep tertentu. Konsep itu dapat kita terima dari media yang dikonsumsinya atau lingkungan tempat kita hidup. Okelah tidak apa-apa jika konsepnya baik; tetapi jika konsepnya buruk, seperti misalnya: seks bebas itu boleh, aborsi itu tidak apa-apa, narkoba itu pelepas frustasi, mode ngetrend itu gaya hidup, membunuh tidak apa-apa, korupsi itu biasa, biar orang lain susah yang penting saya senang. Atau SETIA (Selingkuh tiada akhir) itu indah, tidak setia pada janji perkawinan no problem. Bila konsep buruk seperti itu tiap hari masuk ke dalam benak kita, bisa jadi seseorang akan mengiyakan dan melakukan apa yang menjadi opini media itu karena kita menganggap konsep itu benar, tidak ada yang lain lagi.

Selain hati nurani subjektif juga ada hati nurani objektif yang berasal dari ajaran iman dan norma masyarakat. Hati nurani objektif ini berfungsi untuk mempertimbangkan suatu keputusan sebelum kita bertindak: apakah yang saya kerjakan ini cocok dengan ajaran iman, cocok dengan norma masyarakat, cocok dengan harapan orang-orang yang ada di sekitar saya.

Tindakan Kita ada dampak Sosialnya....

Tidak bisa dipungkiri dalam hidup kita, bahwa setiap tindakan kita membawa dampak bagi orang di sekitar kita. Hal yang baik dapat membangun. Tetapi hal yang buruk merusakkan hubungan baik kita dengan sesama, merusak nama baik kita, dan menjatuhkan harga diri kita. Yang menentukan baik buruknya tindakan adalah maksud awal dari orangnya sendiri dan tujuan tindakan itu. Setiap orang harus selalu mempertimbangkan apakah tindakan ini sesuai dengan keinginanku, ajaran imanku, dan orang-orang yang ada di sekitarku. Karena itu keselarasan hati nurani subjektif dan objektif harus merupakan pegangan.

Buah-buah Roh menjadi keistimewaan tindakan orang Kristiani....

Bagaimana kita memahami apa yang kita lakukan itu baik atau buruk? Kita dapat melihatnya dalam hasil dari tindakan kita. Kitab suci menyebutnya sebagai buah-buah daging atau buah-buah roh :“Perbuatan daging yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora. Buah Roh ialah: kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.” (Galatia 5:19-21a.22-23a)

Prinsip dasarnya adalah jika perbuatan kita menghasilkan buah daging berarti apa yang kita lakukan itu buruk, tetapi kalau menghasilkan buah Roh berarti tindakan kita itu baik. Karena itu, setiap orang diminta untuk selalu mengusahakan buah Roh dalam hidupnya dan menghindari buah daging.

Buah Roh bisa kita wujudkan dalam perkataan, perbuatan, dan pikiran kita sehari-hari. Terwujud dalam hidup sehari-hari kita dalam diri sendiri, saat berelasi dengan teman, dengan guru, dengan orang tua, dengan saudara-saudara di lingkungan kerja maupun dimana saja kita berada. Kita peduli, perhatian dan prihatin. Kita menginginkan apa yang terbaik bagi mereka yang kita cintai. Buah daging bisa juga dalam rupa perkataan, pikiran, dan perbuatan. Orang yang melakukan perbuatan daging selalu menimbulkan ketidakharmonisan, ketidakrukunan, kegelisahan, kebimbangan, ketidakpastian, dan keragu-raguan. Mereka yang hidup dalam suasana kedagingan tidak pernah merasa aman dan tenang masing-masing curiga-mencurigai. Seringkali hubungan yang ada tidak baik. Merasa asing dengan orang di sekitarnya, tidak bisa terbuka, atau percaya-mempercayai. Dan yang menggelisahkan ialah apa yang menjadi menu kesukaan kita adalah menceritakan keburukan dan kesalahan orang lain.

Selain itu, ada juga perbuatan daging yang halus yakni tidak peduli dengan suasana sekitarnya "Yang penting mereka tidak mengganggu aku, aku juga tidak akan mengganggu mereka". Sepertinya baik demi menjaga stabilitas relasi. Tetapi di tengah-tengah orang yang mengambil posisi seperti itu ada bom waktu yang siap meledak. Suasana seperti itu membuat orang tidak merasa pasti bahwa apa yang dikerjakannya benar. Orang juga tidak tahu apa yang dipikirkan oleh yang lain. Akibatnya, semua tidak ada yang pas, serba mengambang atau tidak mantap dalam bertindak.

Bagaimana dengan Anda dalam masa prapaskah ini? Sudahkah aku memiliki Hati Nurani yang jernih? Sudahkah ’mata hatiku’ menjadi melek karena Tuhan Yesus? Sudahkah aku menggunakan kesempatan-kesempatan saat ”RAHMAT”, ”ANUGERAH BERKAT” dalam Sakramen-sakramen Gereja untuk boleh mengalami buah-buah Roh dalam kehidupan?

(Sumber rm. adam soen, Pr di Buletin Nuansa Kasih Paroki St. Albertus, Minggu 2-3 Maret 2008)

Thursday, February 7, 2008

Renungan Rabu Abu 2008: Sedekah, Doa dan Puasa yang bermakna


Jakarta banjir! Itu mah udah biasa! Di daerah lain terjadi tanah longsor, itu juga bukan barang baru! Akhir-akhir ini bila ada berita banjir, tanah longsor dan bencana lainnya di negeri tercinta Indonesia, orang tidak heran lagi, tidak terkejut lagi bahkan justru apatis, yang penting saya tidak. Mengapa? Karena hal itu memang telah menjadi sesuatu yang biasa, acara tahunan, yang kurang dicari solusi terbaiknya. Semua orang tahu bahwa bencana yang terjadi akhir-akhir ini melulu akibat kesalahan manusia: entah karena keputusan yang salah entah karena sikap serakah manusia.

Secara pribadi saya bangga menjadi anggota Gereja Katolik. Mengapa? Karena Gereja di mana saya hidup dan berkembang mengajarkan dan menghayati dan mengembangkan sikap peduli dan mau ambil bagian dalam menangani masalah bangsa. Bila jaman Soeharto ada REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Gereja Katolik Indonesia mencanangkan tema gerakan pertobatan 5 tahunan, misalnya tahun 2002-2006: Persaudaraan Sejati, 2007-2011: Pemberdayaan Kesejatian Hidup. Sub tema tahun 2007: Kesejatian Hidup dalam Hubungan Sosial, 2008: Kesejatian hidup dalam hubungan dengan Lingkungan.

Dengan tema dan sub tema tersebut, sebagai citra Allah, kita dituntun/diajak untuk setiap kali memperbaiki relasi dengan Allah, sesama dan alam/lingkungan. Kesejatian hidup terealisasi bila relasi antara Allah, sesama dan alam/lingkungan terjadi. Namun kenyataannya sikap serakah mendominasi manusia. Akibatnya relasinya dengan Allah, sesama dan lingkungan rusak. Hanya sikap tobat yang mampu memperbaiki keadaan yang telah berantakan ini.

Bertobat adalah mengolah nurani/ hati, bukan sekedar perbuatan yang mengharapkan sanjung puji. Maka nabi Yoel menegaskan: "Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu." (Yoel 2:13). Yesus lebih tegas lagi: "Hati-hatilah, jangan sampai melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat. Karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga." (Mat 6:1) Tampakanya pameran kesalehan dalam intitusi agama sudah terjadi sejak dahulu kala sampai hari ini. Oleh karena itu mari ber-refleksi!

  1. Kewajiban agama dalam kenyataan

"Hati-hatilah, jangan sampai melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat. Karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga." (Mat 6:1) Mengapa Yesus memberi pesan seperti ini? Kata-kata Yesus ini memberi gambaran kepada kita bahwa Yesus telah melihat dan menangkap signal pameran kesalehan dalam intitusi agama. Banyak orang puas dan merasa hebat jika telah melakukan kewajiban agama (derma/sedekah, doa dan puasa). Kenyataan ini kiranya tetap terjadi sejak dahulu kala sampai hari ini.

Kita mengenal prinsip ekonomi: "Dengan modal sekecil mungkin untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin." Prinsip ini digunakan kebanyakan orang di hadapan Tuhan. Artinya orang cenderung melakukan yang seminim mungkin, tetapi mengharapkan dari Tuhan semaksimal mungkin. Misa datang terlambat, pulang cepat, namun mengharapkan berkat. Sedekah sekecil mungkin, mengharapkan pahala sebesar mungkin, berdoa sebentar mungkin dan mengharapkan cepat dikabulkan, berpuasa seminim mungkin dan mengharapkan dampak sebenar mungkin. Pelaksanaan kewajiban agama yang minimalis semacam ini tampak dalam beberapa contoh pertanyaan: doa yang manjur pakai rumusan yang mana? Berpuasa itu mulai jam berapa dan berakhir jam berapa? Sedekah yang benar jumlahnya berapa dan diberikan ke mana? Manusia modern adalah manusia minimalis.

  1. Sedekah, Doa dan Puasa yang dimaknai

Sedekah, doa dan puasa bukan tujuan melainkan sarana. Sarana untuk apa? Sarana untuk menjalin relasi pribadi dengan yang ilahi, sesama dan lingkungan. Sedekah, dan puasa merupakan ungkapan solidaritas dengan sesama dan lingkungan yang menderita. Dengan sedekah berarti kita berbagi dengan mereka yang tidak punya. Sedekah berarti kita mengurangi jatah yang mentinya untuk diri kita demi sesama.

Demikian juga dengan berpuasa. Dengan mengurangi jatah makan/minum kita mau berbagi dengan sesama, apakah perbuatan saya diketahui orang atau tidak , diterima kasihi atau tidak, kiranya bukan masalahnya. Berpuasa bukan hanya mengurangi makan atau minum saja. berpuasa bisa juga kita arahkan dalam membina diri. Kita coba selama masa prapaskah tidak melihat sinetron yang isinya hanya sekitar pertengkaran. Kita ganti dengan pertemuan keluarga entah berdoa atau melakukan sesuatu yang bernilai imani. Selanjutnya berpuasa juga bisa kita arahkan untuk lingkungan. Puasa kita jadikan pause (berhenti). Artinya berhenti mengeksploitasi kekayaan alam, berhenti mencemari lingkungan, berhenti membuang sampah sembarangan. Selanjutnya berupaya memperbaiki lingkungan, dengan gerakan menanam di lahan sendiri. Itulah bentuk atau ungkapan pertobatan yang sungguh bernilai.

  1. Pesan untuk kita

Masa prapaskah adalah masa untuk berbenah. Berbenah dalam pengabdian kita kepada Allah. masa prapaskah adalah masa refleksi, merefleksikan relasi dengan sesama, lingkungan dan Sang Hyang Ilahi. Masa parapaskah adalah masa tobat, masa rekonsiliasi, masa pendamaian kembali. Oleh karena itu dari pewartaan hari ini kiranya ada beberapa point bisa kita renungkan lebih lanjut:

  1. Bertobat adalah soal mengolah nurani/hati, bukan sekedar perbuatan insani yang mengharapkan sanjung puji. Maka sang nabi menegaskan: "Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu." (Yoel 2:13) Pesan Yoel sangat relevan untuk saat ini. Sebab masih banyak orang tidak benar-benar bertobat, melainkan hanyalah melakukan ritual pertobatan. Semoga kita tidak termasuk di dalamnya.
  2. Karena bertobat adalah soal nurani/hati, maka sedekah, doa dan puasa mestinya merupakan perbaikan relasi pribadi dengan Sang Hang Ilahi. Artinya sedekah, doa dan puasa adalah ungkapan imani seorang ciptaan kepada sang Pencipta sejati. Maka Yesus mengingatkan agar semuanya dilakukan dengan tersembunyi. Tujuan akhir sedekah, doa dan puasa bukan kepuasan badani, melainkan perubahan imani/rohani yang selanjutnya dihayati, dijalani dalam hidup sehari-hari sebagai fitrah/gambar Allah sendiri.
  3. Dalam kehidupan modern sedekah, doa dan puasa telah kehilangan makna, kehilangan rohnya. Sedekah, doa dan puasa tinggal sekedar ritual belaka. Banjir, tanah longsor dan bencana lainnya merupakan akibat hilangnya makna sedekah, doa dan puasa. Ketika ketiganya kehilangan maknanya, yang tinggal hanyalah keserakahan belaka. Maka bencana muncul di mana-mana. Contoh bentuk-bentuk refleksi yang bisa kita jalani:
    1. Berbagi harta duniawi: uang, bakat/ketrampilan, waktu, tenaga, makanan yang kita miliki.
    2. Berbagi harta rohani: saling mendoakan, saling mengampuni
    3. Berbagi dalam kemiskinan insani: menerima keterbatasan (menderita sakit, cacat, miskin, menderita)
    4. Berbagi dengan lingkungan; berhenti membuat pencemaran

Semoga masa prapaskah, masa tobat, masa refleksi sungguh bermakna dalam mendekatkan diri dengan yang ilahi, tidak sia-sia tanpa arti.

Tuesday, February 5, 2008

PERINGKAT SELINGKUH BERDASARKAN ZODIAK !!!!!"

Peringkat ke berapakah anda??? Hehe….

Yang PALING ATAS merupakan PALING SETIA !

T A U R U S (21 April - 20 Mei )

Peringkat 1 : Kesetiaannya luar biasa dan paling dapat diandalkan. Bagi beberapa zodiac tertentu, Taurus kadangkala dianggap pribadi yang agak membosankan dalam hubungan interaksi karena cenderung berkutat dalam hitungan "berhemat-hemat" atau paling tidak dianggap keras kepala.


L E O (23 Juli - 22 Agustus)

Peringkat 2 : Kesetiaannya diliputi rasa sayang yang tinggi. Rasa sayangnya yang tinggi membuat kesetiaannya sangat tulus, yaitu rela mengalah dalam banyak hal, namun terkadang egonya juga membuat ia kehilangan orang yang ia sayangi. adalah tipe yang sulait untuk melupakan seseorang yang pernah hadir mengisis kehidupannya. Bagi beberapa zodiac tertentu, Leo adalah tipe yang "menawan."


V I RG O (23 Agustus - 22 September)

Peringkat 3 : Sangat hati-hati memilih pasangan. Ketemu satu saja sudah bikin "capek", jadi boro-boro mau "main-mata" lagi.. Kerap lumayan rewel dan kritis yang menunjukkan betapa besar perhatiannya pada seseorang. Bagi beberapa zodiac tertentu, Virgo adalah tipe yang kerewelan dan kritiknya kadang bisa bikin orang lain tersinggung.

C A P R I C O R N (23 Desember - 20 Januari)

Peringkat 4 : Pemikiran akan rencana-rencananya sangat menyita waktunya.Cenderung berkutat seputar pemikiran akan rencana-rencananya. Bagi beberapa zodiac tertentu, Capricorn terkesan membatasi diri dalam hubungan interaksi dengan lainnya. Selingkuh hanya intermezzo kala jenuh.

A Q U A R I U S (21 Januari - 19 Februari)

Peringkat 5 : Tidak suka selingkuh, tapi menghindari komitmen yang membutuhkan keterlibatan emosional yang dalam. Aquarius cenderung berpikir dan bertindak tegas. Bagi beberapa zodiac tertentu, ia terkesan sangat radikal. Bila ia sampai selingkuh, berarti itu caranya yang "radikal" untuk mengakhiri hubungan dengan pasangan yang tidak mampu mengikuti pola pikirnya.

L I B R A (23 September - 22 Oktober)

Peringkat 6 : Paling sukar menentukan pilihan dan mengalami kesulitan dalam mengungkapkan diri sendiri. Karena kerap berpikiran mendua mengenai segala sesuatu, bagi beberapa zodiac tertentu, Libra kadang terkesan penuh rahasia dan cenderung sulit dipahami.

G E M I N I (21 Mei - 20 Juni)

Peringkat 7 : Harus dimanja agar tidak selingkuh. Selalu ingin dimanja dan diperhatikan oleh pasangannya. Bagi beberapa zodiac tertentu, Gemini adalah tipe yang gampang berubah-ubah.


S A G I T A R I U S (23 November - 22 Desember)

Peringkat 8 : Gampang tergoda untuk selingkuh. Karakter dasar yang ekspansif maka ia gampang tergoda untuk hal-hal yang "baru", begitu pula dalam hubungan. Bagi beberapa zodiac tertentu, Sagitarius adalah tipe cemerlang yang penuh vitalitas hidup.


A R I E S (21 Maret - 20 April )

Peringkat 9 : Perlu dipantau agar gairah kehangatannya tidak berlebihan. Antusiasme dalam diri membuat gairahnya selalu berkobar untuk ber"petualang" dalam segala hal. Bagi beberapa zodiac tertentu, Aries adalah tipe yang hangat dalam hubungan interaksi.


C A N C E R (21 Juni - 22 Juli)

Peringkat 10 : Ratu Rumahan, namun kalau sudah kelaur suka tebar pesona selalu ingin merawat pasangannya. Sensitivitas tinggi membuatnya sangat berhati-hati untuk tidak dilukai dan melukai. Cancer terkesan menutup rapat diri yang membuat beberapa Zodiac tertentu menjadi tidak sabar karena makan waktu untuk berinteraksi dengannya.


S C O R P I O (23 Oktober - 22 November)

Peringkat 11 : Tak akan membiarkan setiap godaan lewat begitu saja. Godaan bisa berarti perhatian baginya dan jarang diabaikannya. Scorpio senang menjadi populer sebagai si pecinta ulung. Bagi beberapa zodiac tertentu, Scorpio adalah tipe pecinta yang ekspresif.


P I S C E S (20 Februari - 20 Maret)

Peringkat 12 : Si Peselingkuh yang mengaku setia. Demikian romantis dia... perselingkuhan adalah nuansa indah dalam hidupnya.

THE EMPOWERING GIFT OF FORGIVENESS

by Archangel Michael


Beloved masters, as the higher frequencies of Light and Creator wisdom permeate the Earth and humanity, a radical shift in consciousness is taking place. More and more precious souls are questioning their basic beliefs and examining their life patterns, the many structures they have built, both physical and mental, which make up their personal reality. Fear and uncertainty are rampant, and a great majority of people fear that the best times are past, and the future looks bleak and uncertain. It is normal to resist or be uncomfortable with dramatic changes, especially when people feel they are not in charge and in control of their future. That is why it is so important to tap into the wisdom of your Higher Self and connect with your wonderful angelic guides and teachers.

Know that the pathway home has always been in place and your return to the higher realms of illumination is assured; however, be aware that the secret of how this is accomplished comes from within, not from your outer world. The internal transformation process can be accomplished with ease and grace when you once again gain access to the wisdom of your Sacred Heart and mind, and take advantage of all the wonderful information that is coming forth from the Realms of Light via the many messengers and teachers who have dedicated their lives to bringing forth advanced universal wisdom.

Beloved ones, you are deep in the process of healing past transgressions and releasing the painful memories of your many past lives on the earthly plane and those from throughout your solar system and galaxy as well. We have said before, you will not be punished or cast into hell. Will you please heed our words? You are not judged and never have been judged by anyone or any Being from the unseen or higher realms; YOU ONLY JUDGE YOURSELVES!

Under the universal laws of cause and effect, all your thoughts, intentions and deeds are stored within your auric field and your chakra system, and you radiate the vibrational patterns created thereby, which go forth from you in an infinity pattern and return to you in like frequencies and measure. In the past, it often took many lifetimes to reap the rewards for positive, loving actions, or to experience the penalties for negative or hurtful actions. Therefore, most often, it was not obvious that the "righteous" are indeed rewarded, and the "unrighteous" also receive their just rewards in kind. Again, no great or small Being is doling out rewards or punishment. The universal laws are firmly in place and your own Higher Self monitors your progress or lack thereof, either clearing the way ahead and blessing you with miracles large and small, or by placing more obstacles before you in hopes you will awaken and step onto the spiral of ascension.

Dear hearts, too many of you are carrying great burdens from the past, mistakes you have made in this lifetime, and also many from past conditioning and buried memories of painful events or actions from all your previous lifetimes. Holding onto these memories or carrying the "burdens of inequity" no longer serves you. It is time for you to allow us to help you heal the painful memories stored within your physical vessel and auric field, just as we are clearing the distortions of the third-and fourth-dimensional collective consciousness belief patterns, and bringing those dimensions back into their originally designed spectrum of duality.

As you descended into the restricted, limiting realms of consciousness, the veil of forgetfulness was put over your memory so that most often you could not remember your past lives, for it would be too much of a burden to remember all your past mistakes and imperfections. It was an act of mercy, for it has proven difficult enough for you to forgive yourselves for your errors and misjudgments in this lifetime, much less all your past aberrations. These restrictive membranes of Light are slowly dissolving as you return to balance and harmony and advance on the spiral of ascension and reunification. An important fact to remember is that even though you no longer remember your past errors and the thoughts and deeds that threw you off balance, those energies were still present within your cellular structure waiting to be rectified and returned to harmony within. That is the process you are now in the midst of: through your conscious awareness and by aligning your will with the Will of your Higher Self and our Mother/Father God, all that is not in harmony with the frequencies of the higher fourth/fifth dimensions is roiling up within to be healed and returned to the harmonics of peaceful coexistence, joy and loving intention.

Imagine a great orchestra playing a symphony; however, each instrument is a little off -key, and now imagine how uncomfortable that would make you. Now picture the vibrational patterns you have sent forth in the past. Instead of beautiful, melodic frequencies which lift and inspire, it is as if, primarily, you have been sending forth discordant frequencies which clash and create chaos instead of balance and harmony. Your Soul Song was no longer sweet and harmonious and, therefore, both your inner and outer worlds were off-balance and discordant. We have stressed over and over again, one of the greatest challenges, yet the most important thing to be accomplished in order to step onto the spiral of ascension, is to return to center within your Solar Power Center, which facilitates the opening of the Sacred Heart and, thereby, allows the Creator Light to flow freely to and from you, which in turn assists you to reclaim your uniquely beautiful, harmonious soul signature.

We have explained how a membrane of Light was placed over the portal at the back of your Sacred Heart Center until it was time for you to begin your journey back into the higher dimensions and the realms of Light. However, you and you alone placed a membrane of protection over the front of your Sacred Heart Center because you have been hurt, disappointed and disillusioned so often. Slowly, but surely, through the techniques we have given you, you have dissolved those restrictive membranes so that the Love/Light can flow freely to and from you in the way it was intended. In order to access and radiate the ever-increasing frequencies of Light, you must be able to integrate and permeate your Being with these advanced vibrational patterns, and you must be prepared to radiate them down into the core of the Earth and then project them out into the world-at-large via your Sacred Heart Center portal, from both the front and the back. Envision how you looked when you first came to Earth: you were a shining crystalline Pillar of Light, filled with a full allotment of the virtues, qualities and talents of your God Ray consciousness. Slowly as you sank into the density, you began to build a cross of matter that became more and more unwieldy as your spectrum of Light and shadow increased. Now you are loving those fragments you have created back into balance and harmony as you seek and tap into higher and higher frequencies of Light. You are in the process of become a cross of Light, beloveds, as your spinal chakra system becomes ignited and you radiate Love/Light from your Sacred Heart Center in front and behind you.

Why not move into the center of the spiral of ascending consciousness, into the eye of duality and polarity where all is calm and peaceful, and filled with pure cosmic life force substance called Adamantine Particles just waiting to be molded into your vision of the future? This very moment, as you move into your Sacred Heart Center, you can experience the profound love and compassion of our Father/Mother God and the Supreme Creator, and know that you are a treasured son/daughter on an important mission, and nothing you can say or do can diminish that love.


VIA THE GIFT OF FORGIVENESS , YOUR EMOTIONAL, MENTAL AND ETHERIC BODIES CAN BE HEALED AND TRANSFORMED BACK INTO WHOLENESS WHICH, IN TURN, BENEFITS YOUR PHYSICAL BODY AND ENHANCES YOUR SENSE OF WELL-BEING.

Stand in front of a mirror and gaze into your own eyes or go into your Pyramid of Light and lie on the crystal table. Say to yourself, "I forgive myself for any action, thought or deed, past, present or future, in this or any other reality, which has not been composed of the frequencies of Sacred Love. I forgive everyone with whom I have shared conflicting, discordant energies during my present or past lives, in this or any other reality and I return to them, wrapped in a bubble of love, all negative memories, impacted energies and probable futures that we have created together. I ask the angels of forgiveness to permeate all facets of my Being with the frequencies of Love/Light so that I may become `soul-focused and heart-centered' as a Bearer of Light and a self-master. "


Breathe deeply as you move into your Sacred Heart Center. Allow the pure Love/Light to pour down through you via your Higher Self. Feel the expansion in your heart center as this Divine elixir of love permeates the very depths of your Beingness. Sacred Love is what frees you from the shackles you have woven around yourselves, binding, restricting, and entangling you in karmic interactions. When you deny this love, you are denying your heritage and your Divine birthright. Perform this exercise as often as necessary until you feel you have accepted the truth that you are worthy of forgiveness.

Forgiveness is a very personal act and must come from the heart. It does not matter if others forgive you or not. When you forgive from the heart, it changes the energy dynamics between you and others. As we have said before, you can only change yourself and you must allow others to change in their own time and way. You are only responsible for your own spiritual growth, but remember, dear hearts, your loving energy speaks for itself and creates miracles.

Forgiveness of Self which facilitates a forgiveness of all others is an integral step in the process of opening the portal to your Sacred Heart center, and your heart portal must be open in order to successfully connect with the many facets of your Divine Self and your universal consciousness. You must make a concerted effort to return to harmony and balance within your own Being in order to be ready to connect with your Divine counterparts. Your painful, unsatisfying earthly relationships are a result of inner feelings of unworthiness, guilt, fear of failure and rejection.

The battle of the sexes is really an internal battle with Self, as you project your "needs, wants and desire" outward to someone else in hopes they can supply what is missing within. Your relationships will surely reflect to you the negative energies you need to overcome, as well as some of the positive attributes you desire for yourself. Either can be painful or fulfilling, depending on the way you wish to "play the game of relationships. " Negative-based physical relationships are fear-based, rigid, self-absorbed and limiting. Sacred relationships are love-based and Spirit-inspired, and allow each party to integrate and express the positive attributes of their intrinsic masculine and feminine nature. They focus on wholeness and unity and yet are flexible and allow freedom of expression.

As you lift your consciousness and return to harmony within, you radiate forth more refined frequency patterns and, therefore, you will attract to you those who are radiating and are comfortable with the same level of the Light spectrum. The reunification process entails rejoining multiple facets and levels of your soul family consisting of your earthly family, your solar, galactic and universal family and the many facets of `Self' and then eventually the wholeness of your I AM Presence.

Beloveds, won't you begin the process of forgiveness NOW, and make a concerted effort to open the portal of your Sacred Heart Center so that these wondrous gifts can be showered down upon you? Call on us and allow us to assist you. Remember, we are only a heartbeat and a thought away. We enfold you in sacred, unconditional love. I AM Archangel Michael.


(Sumber kiriman teman)

TEMPE MEMBAWA BERKAT

Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, hiduplah seorang ibu penjual tempe . Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang. "Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya. .." demikian dia selalu memaknai hidupnya.

Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi, deg! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang, untuk makan, dan modal membeli kacang, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.

Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. "Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku..."

Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya.

Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe. Dan... dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacangnya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri.

Dia yakin, Allah pasti sedang "memproses" doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia.

Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. "Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau maha tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku..."

Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, "tangan" Tuhan tengah bekerja
untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa... berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.

Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu. "Pasti sekarang telah jadi tempe!" batinnya. Denganberdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan... dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika
pertama kali dia buka di dapur tadi.

Kecewa, aitmata menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.

Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar... merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku, batinnya. Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan... esok dia pun tak akan dapat makan.

Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat...

Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya. "Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya??"

Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan tangan. "Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe..."

Kepanikan melandanya lagi. "Duh Gusti... bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?" ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat, pembaca?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi! "Alhamdulillah! " pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli.

Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. "Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?"

"Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Sulhanuddin, yang kuliah S2 di Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Ohh ya, jadi semuanya berapa, Bu?"

Dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa, dan "memaksakan" Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa. padahal, Allah paling tahu apa yang paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencanaNya adalah sempurna.


(Sumber kiriman dari teman)

Monday, February 4, 2008

BUKAN DAMAI TETAPI PEDANG :RENUNGAN HUT GATKI KE-12 (20 ~ 23 Maret 2008)




by David Rensberger


Kebanyakan orang yang belajar tentang hidup Yesus menjahui keyakinan bahwa ia mengajar dan mempraktekkan tanpa kekerasan, sekalipun mereka temukan betapa sulit untuk membuat komitmen seperti itu bagi diri mereka sendiri. Meskipun demikian, ada beberapa bagian dalam Injil nampak membantah kesan ini. Sedikit bagian yang tak bisa diacuhkan ini nampak muncul dalam diskusi seputar apakah orang Kristen harus mempraktekkan (aktif) tanpa kekerasan, dan apakah Gereja Kristen harus gereja damai.


Ada dua tempat di mana Yesus nampak berbicara secara positif sekitar senjata dalam hubungan dengan misi Nya dan murid-muridNya, masing-masing dalam Matius dan Lukas. Dalam tulisan ini, Akan dihadapkan dengan bagian dari Matius, dan Lukas pada komentar akhir.


Di dalam Matius 10:34, Yesus katakan, " Jangan disangka aku datang membawa damai di bumi. Aku tidak datang untuk membawa damai, melainkan sebuah pedang!" diambil secara terpisah dan ke luar dari konteks, kutipan tersebut mungkin menyatakan bahwa perutusan Jesus' adalah satu kekerasan, bahwa Ia bukanlah seorang pembawa damai tetapi untuk menyetujui penggunaan kekerasan senjata, dan tentu saja berniat agar mereka menggunakannya. Tentu saja, mengambil nya secara terpisah dan ke luar dari konteks adalah satu cara yang paling meyakinkan untuk salah menafsirkannya. Menggunakan metoda yang sama, orang mungkin memperoleh dari Matius 5:29-30 bahwa Yesus berniat agar muridNya melaksanakan Amputasi pada dirimu sendiri !


Membaca perkataan dalam konteksnya menjadikan jelas bahwa yang dimaksud sama sekali bukan suatu perintah menggunakan senjata. Segera mengikutinya (
Matius 10:35-36) adalah suatu kutipan dari nabi Micah 7:6 tentang pengkhianatan dan ketidak-percayaan di dalam keluarga-keluarga: " Aku datang untuk memisahkan seorang dari bapaknya, dan anak perempuan dari ibunya, dan menantu perempuan dari ibu mertuanya; dan musuh seseorang adalah orang-orang seisi rumahnya." Kutipan ini pada gilirannya mengingatkan kepada perkataan sebelumnya pada bab yang sama, Matius 10:21: " Seorang saudara akan menyerahkan saudaranya untuk dibunuh, demikian juga seorang ayah terhadap anaknya, dan anak-anak akan memberontak terhadap orang tua nya dan akan membunuh mereka." ramalan yang kejam ini menjadi bagian dari uraian Jesus' tentang penyiksaan bahwa, pengikutNya akan menderita ketika mereka melakukan perutusan yang diamanatkanNya ( Matius 10:16-23).


Hal itu nampak, kemudian, bahwa " pedang" yang Yesus bawa adalah simbol untuk pemisahan yang akan terjadi di dalam keluarga-keluarga sebagai akibatl perutusanNya. Perkataan demikian merupakan suatu contoh yang khas dari perkataan Jesus' "yang parabolik", penggunaan gambaran kata-kata tajam untuk menyampaikan suatu penggambaran kadang-kadang menyusahkan kenyataan ( Matius 5:29-30 menjadi contoh lain dari hal itu). Pembacaannya dikonfirmasi oleh versi yang paralel yang kita temukan dalam Lukas 12:49-53: " Kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kataku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan!" Lukas merubah kiasan ke dalam suatu pernyataan yang jelas, dan dengan demikian menunjukkan bahwa ia memahami " pedang" sesungguhnya adalah suatu metafora.


Melanjutkan satu langkah lebih lanjut dalam pembacaan perkataan ini dalam konteksnya , kita boleh mencatat bahwa Matius ( seperti yang telah dia lakukan sepanjang bab ini) merajut sejumlah perkataan sepintas yang independen yang dihubungkan oleh tema umum. Melanjutkan kutipan tentang ketidaksetiaan keluarga dari Micah 7:6, kita membaca bahwa seseorang yang mencintai bapak atau ibu, anak laki-laki atau perempuan, lebih dari Yesus tidaklah pantas dari Dia, suatu perkataan yang paralel lebih jelas lagi ada dalam Lukas 14:26, dimana Ia berbicara tentang membenci ayah, ibu, isteri, anak-anak, saudara laki-laki, perempuan, dan bahkan dirinya sendiri. Seperti dalam Lukas 14, perkataan ini diikuti oleh suatu panggilan untuk memanggul salib dan mengikuti Yesus; dan perkataan tentang salib menambahkan ajaran bahwa barang siapa yang mencintai nyawanya akan kehilangan nyawanya, dan mereka yang kehilangan ’hidup’ mereka demi Jesus' akan akan menemukannya (
Mat 10:37-39). Konflik rumah tangga, kemudian, sebagai akibat penempatan kesetiaan kepada Kristus dan kepada Tuhan yang ia hadirkan di atas kesetiaan keluarga, adalah satu cara murid Jesus' menghadapi salib dan kehilangan apa yang paling berharga dari mereka, hanya untuk menemukannya lagi secara lebih sungguh-sungguh.


Sehingga pernyataan bahwa Yesus " tidak datang untuk membawa damai, tetapi sebuah pedang" menjadi bagian dari suatu entitas pengajaran yang kompleks bahwa Matius menghadirkan sebagai suatu yang harus dilakukan dengan perutusan pengikut Jesus'. Tema dasar adalah bahwa " murid bukanlah di atas para guru mereka" (
Mat 10:24). Pengikut Jesus akan melanjutkan perutusanNya, dan mereka dapat membayangkan bertemu nasib yang sama seperti Yesus: salibNya akan jadi salib mereka, penderitaanNya akan menjadi penderitaan mereka, khianat terhadaNya menjadi khianat pada mereka.


Pada awal-awal tahun perutusan Kristiani, pemisahan dalam keluarga-keluarga lebih daripada bergabung dalam pergerakan baru harus mendalam dan tidak demikian luar biasa, bagaimanapun juga merupakan penghakiman oleh teks ini. ( Kita tidak pernah mendengar hal ini dalam diskusi Nilai-Nilai keluarga Kristen," untuk beberapa alasan.) " Pedang" yang Yesus bawa bukanlah suatu pedang untuk pengikut Nya untuk dipegang dan digunakan tetapi suatu untuk mereka untuk menderita, bahkan ketika anggota keluarga menolak mereka dan temuan baru komitmen mereka.


Fakta bahwa Yesus memanggil untuk menjadi murid nya untuk menjadi pembawa damai tidak secara otomatis menjamin bahwa mereka akan berhasil. Besar kemungkinan bagi mereka untuk menjadi target permusuhan diri mereka. Damai yang mereka cari untuk membuat suatu kemungkinan yang baik bisa jadi ditolak mereka. Tetapi tidak ada penekanan dimana Yesus memberi kuasa kepada mereka untuk mempersenjatai diri dalam pembalasan, paling tidak dalam menyelesaikan perutusan yang telah Ia berikan.

````````````````````````````````````````````````````````````````

Setelah rekan-rekan membaca-merenungkan-membawanya dalam doa pribadi

Apakah rekan masing-masing masih yakin dan mantap bergabung dalam GATKI ?

Marilah kita sharing (personal) insight lewat milis kita ?

[ kali ini tentang keyakinan pribadi terhadap Aktif Tanpa Kekerasan ]


(sumber: Kiriman rm. Adi W. SJ)



Reflection on Poverty Its Meaning for Religions


Poverty is real. It is not abstract.

The poor exists. He/she lives his/her daily poor life.

His/her existence is not far from us, instead is here with and surrounding us.


Poverty in Stats

Asia is a continent of teeming millions comprising about 2/3 of the world’s population of 6 billion. Sixty per cent (60%) of Asians are below 21 years of age. It is a continent caught up in a web of dramatic changes that have created starkly contrasting realities, e.g., life-giving and death-dealing realities, lights and shadows (FABC 6, nos. 6-8), tradition and progress. These realities mark the whole of Asia. It is a continent replete with hope and challenges, filled with a sense of life and expectations.

Asia is home to religions (or let’s say “religious experiences) and to a tremendous diversity of cultures. Within Asian countries, one finds diverse ethnic or tribal groups either living together in peace or locked in conflicts. Various forms of religious renewal exist side by side. Fundamentalism, often times seen as a reaction to massive social and cultural changes with which people are unable to cope, threatens the social and political stability of many countries.

The financial as well as economic crisis that hit the region has provoked a questioning of the economic model underlying the “Asian miracle,” its social costs and its relationship to Asian cultural values. The repercussions of this crisis on the political scene are still unfolding in several countries. Whatever their type of government - democratic, socialist, governments in transition - all Asian countries are confronted with the same problems, e.g., an ever widening gap between the rich and the poor, social injustice, burgeoning of megacities (7 of 13 megacities in the world, i.e., with populations over 10 million are in Asia; Jakarta gets more than 20 million), with its accompanying human and environmental pollution and cultural dislocation. A political consciousness that is less and less patient with authoritarianism is developing in some countries (FABC Papers, 93b).

It is this context of plurality of religions and cultures, and a wide variety of socio-economic and political situations, that forms the locus for the life and mission of each one of us, the so-called “people of religions” in Asia. The complexity of poor situation of life is challenging us in a ceaseless way.

Poverty in persons

While the “Asian miracle” may have transformed the skyline of some countries, it has not, however, altered the ugly face of poverty in many others. On the contrary, it has widened the gap between the rich and the poor. The globalization of the market economy has given birth to “new victims”, new forms of poverty.

Poverty is what we create. It is not given from Above. …

The new poor created by the recent financial, economic, as well as political crisis in Asia especially in Indonesia:

persons with AIDS/HIV,

child prostitutes,

street children,

child laborers,

undocumented migrants,

those endangered by the ecological complex problem,

women called “prostitutes” who are easily attacked and banned in reason of doing “something maksiat” (against religious common sense),

handicapped children, people,

the elderly,

homeless people,

refugees, victims of conflicts,

new beggars on the streets,

displaced persons suffered from catastrophic conditions (natural disasters) as well as from ceaseless tribal and religious conflicts,


The multiple causes of forced displacement: war, civil conflict, human rights violations, colonial domination and persecution for political, religious, ethnic or social reasons characterise every region and are major causes of forced human displacement today.

The correlation between violations of human rights and situations that produce refugees is very strong. Significantly, 90 per cent of countries with very high levels of human rights violations belong to a group of 36 countries that give rise to most of the world’s internally and externally displaced persons.

Severe breakdown of economic and social conditions that once provided people with the means to survive in their traditional communities and in their own countries is accelerating the movement of people.

Environmental devastation has emerged as a powerful motivation for

large-scale human displacement. Researchers estimate that 10 million people are already “environmental refugees”, and that a further 50 million could be similarly displaced by the year 2,000 (World Bank).

Neworms of poverty will continue to be created in the wake of increased globalization, if the present trends are to be believed. Poverty is always dehumanizing. Hence, whatever its form, it will always pose a challenge to us who are committed to a “mission of promoting fullness of life.”


Poverty as we talk about … the poor and us

We see them, the people who are poor.

We watch them in streets, houses, villages, mountains, poor coasts, televisions, everywhere.

We talk to them. Occasionally.

We share with them. Rarely.

We mingle with them. Only if needed.

We visit them. For school activities or exposures.

We share with them. For research.

We count them. For project proposals.

We discuss and analyze them. For our own benefit and purpose.

What? They are nothing other than only an object.


The poor, who are they?

In the New Testament (the Gospel), Jesus exclaims that God has revealed the divine word that leads to the Eternity only to the poor and the simple men.

The poor is the owner of the reign of God (Matthew 5, 2).

“How blest are the poor in spirit: the reign of God is theirs.”

“Blest too are the sorrowing; they shall be consoled.”

In Matthew Chapter 5, together with “the poor”, Jesus mentions

“the lowly”,

“they who hunger and thirst for holiness”,

“they who show mercy”,

“peacemakers”,

“those who are persecuted for holiness’ sake”,

They are all blessed!

So, …

When we see them as those who are brutish and smell bad, we see them only from physical point of view.

When we understand them as those who are lazy and only beggars, we see them from what our physical eyes apparently perceive.

When we look at them as those disappointing, we see them from a swallow psychological point of view.

Who are they for us?

One who has good experience of living with them, not just for research or exposure, would find that the poor people have some amazing richness. I am not talking something material as we conceive such as money or good shirts or beautiful houses.

In them we find true happiness, or what we call, true happy detachment.

In them we find true longing to something worth.

In them we find humility.

In them we get simplicity.

In them we see meekness.

In them we know cheerfulness.

In them we learn true charity.

In them we meditate what we often call “mortification” and true fasting.

In them we perceive true sense of being human.

In them we discern true sense of being religious.

In them we discover true faith.

In them we learn true love.

In them we see human strength.

In them we find wisdom.

In them we learn true obedience to God.

In them we experience of God’s presence in the world.

In them we learn true hunger and thirst for divine Truth.

In them we study to be God’s true disciple.

In their poor presence we find ourselves “poorer” than what we might think of.

In their poor presence we discover the richness of spiritual richness.

When they got themselves in trouble, we should not close our eyes.

When they cry for help, we should not be idle and close ears.

When they are voiceless, we should not keep silent.

When they are hungry, we should not be doubtful to haste relief.

When they are persecuted, we should dare to defend them in proper ways.

In brief, we do what we can possibly do for them.

Mostly recommended, we do in collaboration, or in working together as well as possible.


How…

Advocacy to social justice and human right is a concrete expression of being Christian, Moslem, Buddhist, Hinduist, Confucionists, or human being who loves God and neighbors especially those who are poor and needy.

Listening to the cry of those who suffer violence and are oppressed by unjust systems and structures, and hearing the appeal of a world that by its perversity contradicts the plan of its Creator, we have shared our awareness of our vocation to be present in the heart of the world by proclaiming God’s love to the poor, freedom to the oppressed, and joy to the afflicted.

When you preach the Good News, you do something in vain unless you promote justice for them (Justice in the World, 7).

How do we put into practice our concern to the poor who are victims social injustice?

Good work presumes good organization. Optimal relief would not be possible unless there is effective togetherness of collaboration.

These are some principles mostly inspired by Tzu Chi’s international relief work. These are not exactly cited, rather used as inspiration to renew our spirit to live more efficaciously our true vocation. We too should dare to learn from others how to make our charitable works more effective, prompt and efficacious. We cannot remain the same. We should renew our way of rendering charity; we must renew our way of seeing, listening, thinking, and doing; we must renew ourselves. For the first principle, I put “man of prayer” as identity of every religious person.

Person of prayer

Give me a person of prayer and he will be capable of everything; he can say with the Apostle: “I can do all things in him who sustains and comforts me” (Flp 3:14). A religious and faithful person will exist as long as the exercise of prayer is faithfully carried out in it. Prayer is an impregnable rampart which will shield persons from all sorts of attacks. It is a mystical arsenal, not only for the purpose of defense but also of attacks, and for routing all the enemies of God and of the salvation of souls.

Directness

When hearing disasters, the teams are to be quickly created; they visit the victims or survivors, and study what the most needed to be given in short term and long one. Relief supplies are distributed as soon as possible directly to the hands of the survivors or to channels that work directly for them.

Priority

Good help needs priority. There are so many sufferings, but priority will guide us to do something more effectively. We shall not do just what we can do. But, we shall do what we can do the best for victims and survivors.

Respect and love

Respect is a human expression that renders service well-done. Everyone should promote respect to the persons assisted. Saint Vincent de Paul teaches us to see God’s presence in the poor people. In them we discover God who needs our hands. Besides, each one of us must do his or her task with great love.

Timeliness

Whenever the disaster or violation occurs, the quick study should be done to collect necessary information. Then, in short time the information should be widely distributed and as well as relief supplies are given to the victims as soon as possible.

Practicality

No relief supplies or any kind of helps should be wasted. This is why we should be available to learn and collaborate with other institutions in rendering service to those who are endangered by negligence of the government. Advocacy to social justice and human right needs change in strategy of charitable works. There is no any institution that can work alone. We too should be more generous to work together with others to help more effectively victims and survivors.

Perseverance and renewal

When the result of help seems to be unclear, we needs to be perseverant to continue rendering service to the poor. We should seek causes of failure and take courage to renew ways of helping in order to be more efficacious and effective.

These principles are necessary especially when we do apostolate of social justice, helping the poor to enjoy their rights as follows:

Borderless solidarity to the victims and survivors

  1. Accompaniment to the neglected
  2. Assistance to the victims to pursue justice
  3. Continuous offer to survivors of the disasters
  4. Solid collaboration and networking
  5. Faithful contacts with the persons in need
  6. More link to dissemination of information


Some questions to be reflected and discussed:

What new forms of poverty are now most concerned in our country (regions)?

  1. What can we as interreligious volunteers offer to render service to the poor in practical ways?
  2. How do we address promotion of human right to people in our local place?
  3. How do we create a global networking to put concern of human right into practice?


***

Beatitudes of Reconciliation

Blessed are those who are willing to enter into the process of being healed, for they will become healers.

Blessed are they who recognise their own inner violence, for they will come to know non-violence.

Blessed are they who can forgive self, for they will become forgivers.

Blessed are those who are willing to let go of selfishness and self-centeredness, for they will become a healing presence.

Blessed are those who listen with compassion, for they will become compassionate.

Blessed are those who are willing to enter into conflict, for they will find transformation.

Blessed are those who know their interdependence with all of creation, for they will become unifiers.

Blessed are those who live a contemplative life stance, for they will find God in all things.

Blessed are those who strive to live these beatitudes, for they will be reconcilers.

Sisters of St. Joseph, Concordia, Kansas.