Monday, July 28, 2008

The Death of the Globalization Consensus

by Dani Rodrik

CAMBRIDGE – The world economy has seen globalization collapse once already. The gold standard era – with its free capital mobility and open trade – came to an abrupt end in 1914 and could not be resuscitated after World War I. Are we about to witness a similar global economic breakdown?

The question is not fanciful. Although economic globalization has enabled unprecedented levels of prosperity in advanced countries and has been a boon to hundreds of millions of poor workers in China and elsewhere in Asia, it rests on shaky pillars. Unlike national markets, which tend to be supported by domestic regulatory and political institutions, global markets are only “weakly embedded.” There is no global anti-trust authority, no global lender of last resort, no global regulator, no global safety nets, and, of course, no global democracy. In other words, global markets suffer from weak governance, and therefore from weak popular legitimacy.

Recent events have heightened the urgency with which these issues are discussed. The presidential electoral campaign in the United States has highlighted the frailty of the support for open trade in the world’s most powerful nation. The sub-prime mortgage crisis has shown how lack of international coordination and regulation can exacerbate the inherent fragility of financial markets. The rise in food prices has exposed the downside of economic interdependence without global transfer and compensation schemes.

Meanwhile, rising oil prices have increased transport costs, leading analysts to wonder whether the outsourcing era is coming to an end. And there is always the looming disaster of climate change, which may well be the most serious threat the world has ever faced.

So if globalization is in danger, who are its real enemies? There was a time when global elites could comfort themselves with the thought that opposition to the world trading regime consisted of violent anarchists, self-serving protectionists, trade unionists, and ignorant, if idealistic youth. Meanwhile, they regarded themselves as the true progressives, because they understood that safeguarding and advancing globalization was the best remedy against poverty and insecurity.

But that self-assured attitude has all but disappeared, replaced by doubts, questions, and skepticism. Gone also are the violent street protests and mass movements against globalization. What makes news nowadays is the growing list of mainstream economists who are questioning globalization’s supposedly unmitigated virtues.

So we have Paul Samuelson, the author of the postwar era’s landmark economics textbook, reminding his fellow economists that China’s gains in globalization may well come at the expense of the US; Paul Krugman, today’s foremost international trade theorist, arguing that trade with low-income countries is no longer too small to have an effect on inequality; Alan Blinder, a former US Federal Reserve vice chairman, worrying that international outsourcing will cause unprecedented dislocations for the US labor force; Martin Wolf, the Financial Times columnist and one of the most articulate advocates of globalization, writing of his disappointment with how financial globalization has turned out; and Larry Summers, the US Treasury chief and the Clinton administration’s “Mr. Globalization,” musing about the dangers of a race to the bottom in national regulations and the need for international labor standards.

While these worries hardly amount to the full frontal attack mounted by the likes of Joseph Stiglitz, the Nobel-prize winning economist, they still constitute a remarkable turnaround in the intellectual climate. Moreover, even those who have not lost heart often disagree vehemently about the direction in which they would like to see globalization go.

For example, Jagdish Bhagwati, the distinguished free trader, and Fred Bergsten, the director of the pro-globalization Peterson Institute for International Economics, have both been on the frontlines arguing that critics vastly exaggerate globalization’s ills and under-appreciate its benefits. But their debates on the merits of regional trade agreements – Bergsten for, Bhagwati against – are as heated as each one’s disagreements with the authors mentioned above.

None of these intellectuals is against globalization, of course. What they want is not to turn back globalization, but to create new institutions and compensation mechanisms – at home or internationally – that will render globalization more effective, fairer, and more sustainable. Their policy proposals are often vague (when specified at all), and command little consensus. But confrontation over globalization has clearly moved well beyond the streets to the columns of the financial press and the rostrums of mainstream think tanks.

That is an important point for globalization’s cheerleaders to understand, as they often behave as if the “other side” still consists of protectionists and anarchists. Today, the question is no longer, “Are you for or against globalization?” The question is, “What should the rules of globalization be?” The cheerleaders’ true sparring partners today are not rock-throwing youths but their fellow intellectuals.

The first three decades after 1945 were governed by the Bretton Woods consensus – a shallow multilateralism that permitted policymakers to focus on domestic social and employment needs while enabling global trade to recover and flourish. This regime was superseded in the 1980’s and 1990’s by an agenda of deeper liberalization and economic integration.

That model, we have learned, is unsustainable. If globalization is to survive, it will need a new intellectual consensus to underpin it. The world economy desperately awaits its new Keynes.

Dani Rodrik, Professor of Political Economy at Harvard University’s John F. Kennedy School of Government, is the first recipient of the Social Science Research Council’s Albert O. Hirschman Prize. His latest book is One Economics, Many Recipes: Globalization, Institutions, and Economic Growth.


(Sumber: kiriman teman)

Friday, July 11, 2008

KEBEBASAN


Kebebasan….

Engkau ada saatnya begitu indah…

Engkau membawa aku pada suatu mimpi…

Aku mimpi akan duniaku sendiri.

Kebebasan…

Engkau ada saatnya begitu suram…

Engkau membawa aku pada nestapa…

Aku mengalami nestapa tak berharga..

Kebebasan…

Engkau begitu indah dan suram…

Engkau membawa aku pada kenyataan hidup

Kenyataan hidup yang harus kualami…

Kenyataan hidup yang harus kurasakan…

Kenyataan hidup yang harus kuhadapi…

Trima kasih Yesus Sahabatku….

Aku boleh menikmati kebebasanMu.


Saat aku persiapan renungan malam minggu, 26 juni 04

Pkl. 22.00 WIB

(Sumber: @d@m SoEn, buku harian Juni 2004)

SEKOLAH ….SEKEDAR…..SEKOLAH???

Beberapa kisah nyata…..

Liburan sekolah sudah hampir habis, anak-anak kita masuk sekolah lagi. Apakah ada yang perlu dimaknai? Jangan-jangan libur sekedar libur? Tamasya? Belanja? Shopping? Main-main? Atau bisa jadi selama ini anak-anak ”sekolah sekedar sekolah ?” Mari kita renungkan beberapa kisah nyata ini. Kalau anak-anak muda senang mempertanyakan Ada apa dengan Cinta ?” Sekarang kita bertanya ”Ada apa dengan Pendidikan?”

Kisah pertama, beberapa hari yang lalu saya ikut mengantar teman-teman misdinar wisata rohani ke Jogya sekitarnya. Kebetulan ada acara jalan-jalan ke Malioboro. Dalam perjalanan saya memperhatikan ada seorang anak yang baru saja pulang dari luar negeri, diajak jalan-jalan orang tuanya. Ketika bertemu teman-temannya, dia begitu semangat pamer dengan teman-temannya. Ada hal yang menarik, selain pamer dia juga mengolok-olok teman-temannya: ”Yahh kamu sichh anak tidak mampu, tidak punya duit, papa-mama kamu punya toko kecil....kasian dech elo gak bisa jalan-jalan keluar negeri”(Kira-kira begitulah yang sempat saya dengar sambil jalan menemani teman-teman misdinar di Malioboro).

Kisah kedua, saya pernah bertanya pada seorang anak. Kenapa pingin sekolah? Anak itu menjawab sekolah supaya dapat ilmu, supaya bisa belajar, menambah pengetahuan, banyak teman. Tetapi ada suatu jawaban yang mengejutkan: ”Aku sekolah supaya tidak berlama-lama di rumah dengan papa-mama”.

Kisah ketiga, ketika dalam perjumpaan dengan seorang ibu yang mengantar anaknya ke sekolah. Saya bertanya: ”Kenapa sich orang tua menyekolahkan anak?”. Dia menjawab: ”Untuk anak playgroup dan TK, biar anak di rumah tidak hanya main-main, biar cepat pandai, dan yang jelas saya malas momong di rumah. Untuk SD-PT (Perguruan tinggi) biar mempersiapkan masa depan, biar pinter, biar bisa sosialisasi, mandiri, banyak teman, dsb”.

Memaknai Pendidikan ....

Dari ketiga kisah diatas, nampaknya indah tetapi ada sisi lain yang perlu kita lihat dan kita renungkan bersama. Yahh . . . itulah kenyataan yang memang benar-benar terjadi dalam kehidupan keseharian meskipun sama-sama sekolah (menikmati pendidikan), tetapi buah-buahnya sangat lain. Kisah pertama anak bisa pamer, sombong, sok gengsi, bahkan merendahkan orang lain; ketika perjalanan keluar negeri bersama orang tuanya tidak dimaknai kembali. Apakah orangtua pernah memberikan makna tersendiri tentang liburan dan perjalanan? Yahh. . . mungkin yang memperkaya hati dan pikiran anaknya bukan membesarkan ego dan sok gengsi anak dengan kebanggaan yang tak berguna. Bukan berarti orangtua tidak boleh memberi yang terbaik. Tetapi bagaimana orang tua diajak untuk membantu anak memaknai perjalanan itu dalam banyak hal...bukan hanya untuk dibanggakan "Aku kan baru jalan-jalan keluar negeri!” Atau justru mengajak dan melibatkan anak ke tempat yang membuat dia lebih mengerti tentang hidup dan membuat dia terlibat didalamnya... yang membuat hidup ini jauh lebih indah dan bermakna. Kisah kedua juga nampaknya baik. Tetapi sebenarnya bagaimana hubungan anak dengan orangtua? Kisah ketiga juga bagus, akan tetapi perlu kita cermati jangan-jangan apa yang diungkapkan seorang ibu itu benar. Memang zaman sekarang ada trend seorang ibu malas ”momong” (mengasuh) anaknya. Pokoknya tahu beres dech !!!

Hak semua orang atas pendidikan....

Dalam Dokumen Konsili Vatikah II: ”GRAVISSIMUM EDUCATIONIS tentang pendidikan Kristiani” ditegaskan bagaimana umat Katolik memaknai kembali pendidikan bahwa semua orang berdasarkan martabatnya selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan yang cocok dengan tujuan maupun sifat perangainya, mengindahkan perbedaan jenis, serasi dengan tradisi-tradisi kebudayaan serta para leluhur, sekaligus juga terbuka bagi persekutuan persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain, untuk menumbuhkan kesatuan dan damai yang sejati di dunia.

Dikatakan juga mengenai tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya, dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya. Maka dengan memanfaatkan kemajuan ilmu-pengetahuan psikologi, pedagogi dan didaktik, perlulah anak-anak dan kaum remaja dibantu untuk menumbuhkan secara selaras serasi bakat pembawaan fisik, moral dan intelektualnya. Dengan demikian umat kristiani tahap demi tahap akan mencapai kesadaran atas tanggungjawab mengembangkan hidupnya. Sambil mengatasi hambatan-hambatan dalam dirinya dengan kebesaran jiwa dan ketabahan hati, umat kristiani akan mencapai kebebasan yang sejati. Hendaklah seiring dengan bertambahnya umur anak-anak menerima pendidikan seksualitas yang bijaksana. Selain itu hendaknya anak-anak dibina untuk melibatkan diri dalam kehidupan sosial sedemikian rupa, sehingga memperoleh bekal yang menunjang anak berintegrasi secara aktif dalam pelbagai kelompok kebersamaan manusiawi. Bahkan anak-anak dan kaum remaja berhak didukung, untuk belajar menghargai dengan suara hati yang didasari nilai-nilai moral, serta dengan tulus menghayatinya secara pribadi, untuk makin sempurna mengenal serta mengasihi Allah dan sesama.

Orangtua bertanggung jawab atas pendidikan....

Bagaimanapun juga orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak dan dengan demikian terikat kewajiban amat berat untuk mendidik anak-anak. Maka orang tua harus diakui sebagai pendidik anak yang pertama dan utama. Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga tidak mungkin diabaikan. Sebab merupakan kewajiban orang tua: menciptakan lingkungan keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak. Maka keluarga menjadi lingkungan pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial, yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat. Terutama dalam keluarga kristiani, yang diperkaya dengan rahmat serta kewajiban Sakramen Perkawinan, bahwa anak-anak sejak dini harus diajar mengenal Allah serta berbakti kepada-Nya dan mengasihi sesama, seturut iman yang telah mereka terima dalam Sakramen Baptis. Disitulah anak-anak menemukan pengalaman pertama sebagai anggota masyarakat yang sehat serta warga gereja yang baik. Melalui keluargalah anak-anak lambat-laun diajak berintegrasi dalam hidup menggereja dan bermasyarakat. Maka hendaklah para orang tua menyadari, betapa pentinglah keluarga yang sungguh kristiani untuk kehidupan dan kemajuan umat Allah sendiri. Tugas menyelenggarakan pendidikan, yang pertama-tama menjadi tanggung jawab keluarga, tetapi masih memerlukan bantuan seluruh masyarakat.

Pentingnya Pendidikan ......

Dalam dunia yang sarat dengan berbagai perubahan ini, pendidikan mempunyai makna yang istimewa. Selain pendidikan mengembangkan kemampuan akalbudi, juga menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat atas kehidupan, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa untuk menghidupi kejujuran, memupuk persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-perangai maupun situasi kondisi hidupnya, serta mengembangkan sikap saling memahami.

Tidak bisa dipungkiri, pendidikan merupakan pusat kegiatan kehidupan. Ada suatu komentar dari seorang ahli pendidikan yang menurut saya baik untuk dikaji dan direnungkan: ”Sekolah untuk hidup. Sekolah bukan sekedar menumpuk piala penghargaan, gedungnya megah, nama sekolah ditambahi dengan plus atau embel-embel internasional. Apalagi kalau sekolah sekedar canggih matematika, fisika serta fasih berbahasa Inggris, Mandarin dll.”

Pendidikan yang hanya mengejar prestasi akan menjadi pendidikan semu. Untuk tidak mengatakan sebuah pengkhianatan terhadap pendidikan itu sendiri. Pendidikan akan menghasilkan manusia yang rapuh dan jiwa yang hampa dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata jika pendidikan hanya menciptakan kemampuan intelektual tanpa membangkitkan hati nurani. Pendidikan harus memiliki "semangat" yang mengembangkan nilai-nilai bijak, dan mengarahkan pada kecerdasan intelektual/ akademik atau Intelegence Quotient (IQ), kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (IQ), dan kecerdasan spiritual atau Spiritual Quetient (SQ).” Masih menurut ahli pendidikan, sejauh saya tangkap dari suatu seminar; bahwa EQ dan SQ sangat berperan dalam menunjang keberhasilan seseorang dalam perjuangan hidupnya. Kearifan untuk mengendalikan emosi justru akan menunjang bekerjanya nalar dan intelektual. EQ akan membangun motivasi, empati, kemampuan untuk memahami diri sendiri dan orang lain, sifat simpatik, solidaritas, dan interaksi sosial yang tinggi. Sementara SQ akan membimbing suara hati yang jernih mengarahkan kita kepada kebijaksanaan: berani menghadapi hidup dengan optimis, kreatif, fleksibel, dan visioner, serta memberikan kekuatan moral, memberikan kepastian jawaban tentang sesuatu yang baik dan yang buruk, serta bertanggung jawab atas hidup dan lingkungannya. Semua itu akan mewujudkan kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang dan ketahanan dalam menghadapi tantangan hidup.

Semoga anak-anak dan kita semua tidak sekedar sekolah, tetapi sekolah untuk belajar kehidupan (bdk. Amsal 1:1-7).

Dominus Vobiscum.


(Sumber: RD. @d@m SoeN di Buletin Paroki Nuansa Kasih, Minggu 13 Juli 2008)


Friday, July 4, 2008

Just Joke

MILIK KITA

Di rumah pastoran biasanya ada karyawan/ti yang mengurus dapur dan peralatan rumah tangga pastoran. Suatu sore seorang karyawati datang bertemu dan melapor keadaan rumah pastoran kepada Pastor Paroki.
Karyawan : Pastor, rumah Pastor ini sudah banyak yang bocor. Saluran air juga tersumbat
Pastor : Mbak, rumah pastoran ini bukan milik pribadi saya
Karyawan : Kalau bukan milik pastor, sebenarnya rumah ini milik siapa?
Pastor : Rumah ini milik umat, jadi sebut saja milik kita.
Dan panggil saya, Bapa dan jangan panggil pastor.
( hari berikutnya, Pastor sedang terima tamu dan karyawati itu datang melapor lagi ttg keadaan rumah )
karyawati : Bapa, semalam tadi hujan di rumah kita masih bocor lagi. Tempat tidur kita, lemari kita, tempat tidur kita,baju tidur dan kasur kita basah semua.......!
Pastor : .....!!!!!????
Tamu : Apa-apaan ini....Geger.r....r.r !


UTUSAN MASUK SURGA

Lantaran sudah sering melihat orang tuannya tidak ke Gereja, seorang anak mengajak orang tuanya pergi bersama-sama beribadah. Namun kedua orang tuannya selalu punya alasan sibuk. Ayahnya beralasan mau pergi ke laut untuk memancing, sedangkan ibunya sibuk mengurus arisan. Setiap kali mereka punya alasan yang sama. Bahkan ayahnya berkata :
" Nak, engkau sendiri pergi ke gereja untuk menwakili ayah dan ibumu....."
Akhirnya pada suatu hari, dalam sebuah kecelakaan lalu lintas orang tua bersama anaknya itu tewas seketika. Mereka mulai memasuki tahta pengadilan Ilahi. Di hadapan Yesus, Sang Hakim Sorgawi, mereka ditanya, apakah ingin masuk surga? jawab mereka serempak : " Ya... kami ingin masuk surga " Tetapi apa kata Yesus pada orang tua anak itu.... Yesus dengan tegas berkata :
" Selama kamu masih hidup di dunia, kamu selalu mengutus anakmu ini mewakili kamu untuk pergi ke gereja, jadi saat ini pula anakmu mewakili kamu untuk masuk Sorga....!"

(Sumber: kiriman from emili@)

RENDAH HATI??? GITU AJA KOK REPOT!!!

Suatu Realitas Zaman saat ini ….

Rendah hati??? Gitu aja kok repot!!! Suatu ungkapan pendek yang pernah saya dengar. Tetapi entah … saya menjadi terusik dengan kata-kata itu. Ketika kita disibukkan dengan berbagai hal dalam kehidupan kita, “Rendah hati” mungkin adalah sebuah kata yang hampir hilang dari perbendaharaan bahasa sehari-hari. Hampir setiap hari kita mendengar atau menyaksikan berita-berita atau nonton teve betapa para pemimpin kita, para elite politik dan pejabat publik menunjukkan arogansi kekuasaan atau jabatannya. Pertikaian politik di antara para pemimpin juga telah memberi gambaran yang jelas tentang betapa mereka sungguh merasa dirinya paling benar, paling mewakili rakyat, dan paling mengerti persoalan. Demikian halnya dengan para pakar dan pengamat politik, ekonomi dan sosial. Semuanya berlomba-lomba untuk memberikan komentarnya kepada publik dengan merasa diri paling benar dan orang lain paling salah. Kita memang tidak perlu mengatakan bahwa saudara kita itu tinggi hati, sombong, high profile, arogan, selalu ingin dihormati dan diistimewakan, tidak mau mendengar, tidak mau melayani, karena hal itu sama dengan kita juga tidak memiliki kerendahan hati (maaf ...seribu maaf ini hanya suatu pengamatan lho.....sejauh saya lihat di teve dan baca-baca berita. Woww..ha ...ha...siapa tahu sebenarnya kita juga belum rendah hati di lingkungan keluarga, masyarakat, tempat kerja, dll).

Pernah dalam suatu seminar dan dalam buku dikatakan bahwa kerendahan hati merupakan salah satu indikator dari tingginya kecerdasan spiritual seseorang. Seorang yang tidak bisa menunjukkan sikap atau karakter rendah hati, berarti belum mencapai kedamaian dengan dirinya. Dari hasil riset yang dilakukan oleh Gay Hendrick, PhD dan Kate Ludeman, PhD terhadap 800-an manajer perusahaan yang mereka tangani selama 25 tahun, salah satu kesimpulannya adalah bahwa para pemimpin yang berhasil membawa perusahaan atau organisasinya ke puncak kesuksesan biasanya adalah orang yang memiliki integritas, mampu menerima kritik, rendah hati, dan mengenal dirinya dengan baik. Para pemimpin yang sukses ini ternyata memiliki kecerdasan spiritual yang jauh lebih tinggi dari manusia rata-rata. Mereka justru adalah manusia yang rendah hati.

Berikut ini adalah sejumlah karakteristik atau ciri-ciri dari seseorang yang memiliki sifat rendah hati. Jika kita memiliki salah satu saja dari ciri-ciri ini, berarti kita memiliki kecerdasan spiritual yang lebih baik dibanding kita tidak memilikinya.

Memandang Setiap Individu Unik, Istimewa dan Penting....

Pribadi yang rendah hati biasanya justru memandang bahwa orang lain sebagai ciptaan Tuhan memiliki keunikan dan keistimewaan, sehingga dia senantiasa membuat orang lain merasa penting. Karena sesungguhnya setiap pribadi adalah istimewa. Setiap orang adalah spesial, unik, dan berhak untuk dihargai. Manusia adalah pribadi yang harus diperlakukan khusus. Manusia adalah makhluk yang sangat sensitif. Jika kita meragukan hal ini, lihat diri kita sendiri dan perhatikan betapa mudahnya kita merasa disakiti atau tersinggung. Jika apa yang Anda pikirkan mengenai orang lain berubah, maka sikap dan tindakan mereka terhadap Anda juga akan berubah. Karena manusia sangat sensitif satu sama lain dalam banyak hal, kita biasanya sangat peka terhadap apa yang dipikirkan oleh satu sama lainnya. Jika hubungan kita dengan isteri/suami, kekasih, teman, rekan bisnis, rekan kerja atau orang tua kita tidak sebagaimana yang kita harapkan, cobalah lihat lebih jauh ke dalam alam pikiran kita. Apa yang sesungguhnya kita pikirkan saat ini tentang orang tersebut? Orang seperti apa (suami/isteri, kekasih, sahabat, rekan) yang kita ciptakan dalam pikiran kita. Kita pasti memiliki hal-hal atau gambaran yang negatif atau jelek tentang orang tersebut.

Mau Mendengar dan Menerima Kritik ....

Salah satu ciri kerendahan hati adalah mau mendengar pendapat, saran dan menerima kritik dari orang lain. Sering dikatakan bahwa Tuhan memberi kita dua buah telinga dan satu mulut, yang dimaksudkan agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Kadang-kadang hanya dengan mendengarkan saja kita dapat menguatkan orang lain yang sedang dilanda kesedihan atau kesulitan. Dengan hanya mendengar, kita dapat memecahkan sebagian besar masalah yang kita hadapi. Mendengar juga berarti mau membuka diri dan menerima, suatu sifat yang menggambarkan kerelaan untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain maupun diri kita sendiri.

Demikian halnya dengan kritik, harus senantiasa dipandang sebagai sarana untuk kita belajar dan bertumbuh. Kritik harus kita pandang sebagai bahan baku kita untuk mengembangkan diri, bukan untuk menunjukkan kita salah atau benar. Apapun bentuk dan cara penyampaian kritik harus senantiasa kita pandang positif dalam proses pembelajaran yang berlangsung terus menerus dalam hidup kita. Banyak sekali dari kita yang memandang kritik sebagai hal pribadi, yang menunjukkan kelemahan dan kegagalan kita. Padahal sebaliknya kritik justru menunjukkan kemenangan dan kedewasaan kita dalam menghadapi setiap tantangan dan kesulitan.

Mau Melayani ....

Memang tidak bisa dielakkan manusia lebih cenderung ingin dilayani, diberi hak-hak istimewa, diutamakan dan dihormati. Bahkan menurut Dale Carnegie, salah satu prinsip dasar dalam menangani manusia adalah membuat orang lain merasa penting. Karena pada dasarnya setiap individu ingin merasa dirinya penting, diutamakan dan dihormati. Maka tidak heran kalau ada yang mengatakan ”Kepemimpinan justru sering diartikan dengan jabatan formal, yang justru menuntut untuk mendapat fasilitas dari orang seharusnya dilayani. Bahkan hampir tidak ada pemimpin yang sungguh-sungguh menerapkan kepemimpinan dari hati, yaitu kepemimpinan yang melayani”. Sifat mau melayani dimulai dari dalam diri kita. Mau melayani menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Hal tersebut dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk melayani orang lain. Kembali kita diingatkan bahwa sifat mau melayani berarti memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dilayani. Kasih itu mewujud dalam bentuk kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan dari orang lain yang membutuhkan pelayanannya.

Menang Tanpa Ngasorake, Ngalah Tapi Ora Kalah ....

Mungkin kita masih ingat Nuansa Kasih edisi Minggu, 15 Juni 2008. Ada peribahasa Jawa yang mengatakan : ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, lan sugih tanpa bondo. Artinya menyerang tanpa pasukan, menang tanpa harus menindas dan kaya tanpa harta. Filosofi yang terkandung di dalamnya menunjukkan kerendahan hati yang sangat dalam. Dalam mengkritik atau memenangkan suatu persaingan kita tidak perlu menunjukkan kehebatan maupun memamerkan apa yang kita miliki, bahkan ketika kita menang sekalipun tidak ada rasa pamer atau kesombongan yang terlihat. Falsafah ini sungguh merupakan gambaran yang sangat jelas tentang arti rendah hati. Sebaliknya, jika kita harus mengalah demi kebaikan ataupun jika kita kalah dalam suatu pertandingan atau persaingan kita tidak boleh merasa gagal atau dikalahkan. Kekalahan atau kegagalan adalah bagian dari proses menuju kesuksesan atau kemenangan. Jangan hanya melihat hasil pada satu dimensi waktu tertentu, tetapi kita harus menikmati proses, karena orang bijak mengatakan ”success is a journey not a destination”.

Berani Mengakui Kesalahan dan Meminta Maaf

Salah satu ciri manusia rendah hati adalah senantiasa berani mengakui kesalahan dan meminta maaf jika melakukan kesalahan atau menyinggung perasaan orang lain. Manusia rendah hati adalah manusia yang sangat peduli dengan perasaan orang lain. Bedakan dengan mereka yang senantiasa peduli dengan apa yang dikatakan orang lain. Orang seperti ini bukan rendah hati, tetapi rendah diri atau tidak memiliki rasa percaya diri, sehingga dia selalu khawatir dengan apa yang akan dipikirkan atau dikatakan orang lain tentang dirinya.

Rela Memaafkan .....

Rela memaafkan juga merupakan ciri seseorang yang rendah hati. Bahkan dalam setiap agama dikatakan bahwa kita harus mau mengampuni kesalahan sesama kita, karena Tuhan juga mau mengampuni dosa-dosa kita. Sifat ini justru tidak kita temui dalam keseharian kita. Masih banyak dari kita yang tidak dapat memaafkan orang lain dan senantiasa hidup dalam dendam dan sakit hati. Maka kita diingatkan bahwa dengan tidak rela memaafkan, kita justru membiarkan diri kita digerogoti oleh perasaan dendam dan sakit hati yang menimbulkan berbagai penyakit baik fisik maupun kejiwaan. Rela memaafkan justru lebih ditujukan kepada kepentingan diri kita sendiri, untuk menghindarkan kita dari penyakit dan tekanan dalam kehidupan kita.

Lemah Lembut dan Penuh Pengendalian Diri ....

Ciri yang jelas dari orang yang rendah hati adalah sikapnya yang lemah lembut (gentle) dan penuh pengendalian diri (self control). Kita tidak pernah membiarkan emosi lepas kontrol. Kita tidak menunjukkan kemarahan dengan sikap kasar, kata-kata yang tidak baik, atau melakukan tindakan fisik. Kemarahan atau kekecewaan yang dirasakan senantiasa dapat kita kendalikan sepenuhnya, dalam arti bukan diluapkan (expressed), bukan pula dilupakan, diacuhkan atau ditahan (supressed), tetapi dilepaskan dengan pasrah (released). Sekalipun sulit, tetapi yakinlah kita bisa.

Mengutamakan Kepentingan Yang Lebih Besar ...

Kita diingatkan kembali mengenai orientasi hidup kita. Orientasi hidup kita ternyata tidak hanya untuk kepentingan diri pribadi maupun golongan tetapi justru kepentingan bersama. Seorang yang rendah hati justru senantiasa mengutamakan kepentingan dan nilai yang lebih besar dibandingkan kepentingan pribadi ataupun golongannya. Sedangkan yang sering kita amati, justru para pemimpin, wakil rakyat dan politisi lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongannya. (atau bisa jadi kita sendiri seperti itu.... ha... ha..tidak boleh sakit hati lho....).

Hari ini kita diundang oleh Sabda Tuhan merenungkan hidup kita. Bagaimana kita berjuang hidup rendah hati di keluarga, lingkungan, tempat kerja, masyarakat, dan dimana aja kita berada sebagai pengikut Kristus. Mari kita renungkan ayat-ayat cantik ini (tidak hanya nomor handphone yang cantik lhooo!! Tetapi Sabda Tuhan juga cantik membimbing hidup kita): I Petrus 5:5: "Demikian jugalah kamu, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." Ulangan 8:2 "Ingatlah kepada seluruh perjalanan yang kaulakukan atas kehendak TUHAN, Allahmu, di padang gurun selama empat puluh tahun ini dengan maksud merendahkan hatimu dan mencobai engkau untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni, apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak". Matius 11:29: "Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan". 1 Timotius 4:12: “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu".

Dominus Vobiscum.

(Sumber: RD. @d@m Soen di Buletin Paroki Nuansa Kasih, Minggu 6 Juli 2008)