Thursday, June 26, 2008

ALERGI POLITIK...JANGAN AHH.....

Alergi Politik...

Tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat sebagai orang yang beragama, ada yang alergi atau apatis dengan politik. Hal ini nampak dari beberapa komentar: ”Politik itu busuk”, ”Politik itu kotor”, ”Politik itu merusak”, ”Politik itu menjajah”, ”Agama bukan kendaraan politik,” dsb..dsb... yang seringkali menjadi pertanyaan kita: kenapa kita kalau sudah tahu seperti itu tidak masuk di dalamnya membawa suatu perubahan; tetapi justru melihat kejelekannya. Masihkah kita sebagai warga negara, warga masyarakat dan warga beragama; masih memiliki hati untuk suatu perubahan?

Inilah PR (pekerjaan rumah) untuk kita, khususnya sebagai warga negara dan masyarakat Jawa Timur, yang akan memilih para pemimpin sekaligus pelayan masyarakat. Kita akan memilih pemimpin dan pelayan masyarakat baik di tingkat kota maupun provinsi. Harus bagaimanakah kita? Terlibat aktif? Apatis? Alergi?

Masihkah kita ingat, ketika Sri Paus Johanes Paulus II, tanggal 9 Oktober 1989 berkunjung ke Indonesia (Jakarta). Beliau mengingatkan agar umat Katolik Indonesia melakukan kewajiban-kewajiban sebagai warga negara disamping memberikan pada Allah yang wajib diberikan kepada-Nya. Umat Katolik diajak menjadi warga negara Indonesia yang baik. ”Pro Ecclesia et Patria”. Kita harus menjadi orang Katolik sejati dan orang Indonesia sejati (100% warga negara Indonesia dan 100% umat Katolik). Kalimat ini terukir dalam sejarah bangsa Indonesia yang mengungkapkan sikap banyak orang Katolik selama perjuangan kemerdekaan, dan masih terus mengilhami kehidupan Gereja di Indonesia dewasa ini.

Hidup Kita Berpolitik......

Kata politik berasal dari kata Yunani dan diambil alih oleh banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Pada zaman Yunani, negara atau lebih tepat “negara kota” disebut “polis”. Karena itu politik mempunyai arti seni untuk mengatur dan mengurus negara. Memang banyak pengertian politik, tergantung dari lingkup yang dipakai sebagai batasnya. Namun pada umumnya, politik dalam arti luas adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesejahteraan umum masyarakat. Dengan demikian, politik sebenarnya bukan hanya urusan para pejabat pemerintah atau kaum politisi saja, melainkan tanggung jawab semua warga negara. Secara sempit dalam bahasa sehari-hari kata politik itu seolah-olah hanya monopoli orang-orang yang terbatas saja. Politik sering diartikan sebagai seni para politisi untuk mengatur/ memerintah masyarakat dengan mempergunakan kekuasaan tertentu (secara demokratis, otoriter, diktator, dll).

Pada umumnya politik mencakup aneka macam kegiatan dalam suatu sistem masyarakat yang terorganisasi dalam suatu negara, yang menyangkut pengambilan keputusan (decision making) baik mengenai tujuan sistem itu sendiri maupun mengenai pelaksanaannya. Pengambilan keputusan mengenai tujuan sistem tersebut menyangkut pilihan antara beberapa alternatif. Untuk melaksanakan keputusan itu diperlukan kekuasaan (power), dan wewenang (authority), yang dalam pertentangan-pertentangan kepentingan (conflict of interrest) dapat mempergunakan cara yang meyakinkan (coercion). Oleh karena itu, teknik menghimpun kekuasaan, yang memungkinkan maksud tertentu dapat dijalankan, disebut juga berpolitik (dalam konotasi yang agak negatif). Akan tetapi kenyataan, politik memang berhubungan erat dengan kekuasaan (power).

Di sisi lain, ada juga yang mengartikan politik adalah usaha yang semata-mata membina dan menggunakan kekuasaan. Walaupun dalam kenyataaan sering demikian, namun kekuasaaan atas manusia lain tidak boleh menjadi tujuan ”an sich”, melainkan hanya ”sarana”. Penggunaan kekuasaan harus dapat dinilai menurut tujuan/ maksud yang mau dicapai dan menurut cara untuk mencapai tujuan itu.

Adapun tujuan politik sebagai kegiatan yang berhubungan dengan negara demi kesejahteraaan bersama seluruh rakyat. Lalu mengenai apa yang secara konkrit termasuk kesejahteraan itu dan secara prioritas serta cara mewujudkannya, dapat saja menimbulkan perbedaan pendapat dan pertentangan di antara politisi termasuk politisi Katolik maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dalam hal demikian prinsip yang harus dipegang teguh adalah kesejahteraan umum lebih penting daripada kesejahteraan kelompok, golongan atau pribadi. Kepentingan umum harus didahulukan, sedangkan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, ras, agama harus dinomorduakan. Kalau kita boleh merenung kembali sebenarnya kehidupan kita sehari-hari juga kehidupan berpolitik, karena selalu berhubungan dengan orang lain.


Otonomi dan Tanggung Jawab ........

Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes no. 76 menyatakan: ”masyarakat politik dan Gereja di bidang masing-masing tidak bergantung satu sama lain dan otonom. Akan tetapi keduanya, meskipun berdasarkan alasan yang berbeda-beda, melayani panggilan pribadi dan sosial manusia yang sama”. Dengan demikian diakui bahwa manusia yang menjadi tujuan usaha negara dan gereja adalah sama, akan tetapi negara dan gereja dalam menjalankan tugas mereka adalah otonom. Gereja tidak berhak mendikte kepada negara/ pemerintah apa yang harus dilakukan, sebaliknya negara tidak boleh mencampuri kehidupan Gereja.

Dalam Gereja Katolik berpolitik bukan atas nama Gereja: seorang Katolik yang terjun ke dunia politik tidak boleh sama sekali mengatasnamakan Gereja, ia tidak mewakili umat Katolik, melainkan bertindak atas nama dan berdasarkan tanggung jawab sendiri atau atas nama organisasinya. Dalam berpolitik seorang Katolik tidak berada dibawah wewenang pimpinan Hirarki. Politikus Katolik bertanggung jawab terhadap kesadaran dan suara hatinya sendiri. Dalam arti inilah ia bersifat otonom.

Meskipun politikus Katolik bersifat otonom dan bertanggung jawab atas kesadarannya sendiri, akan tetapi kesadaran itu secara mendalam ditentukan oleh imannya. Karena itulah dalam iman katoliknya, ia harus diresapi oleh cinta kasih Allah, bahwa ia harus melibatkan diri dalam dunia politik demi pelayanan kepada sesama manusia dan kesejahteraan bangsa, negara dan masyarakat seluruhnya.

Perlu Etika Politik Katolik...

Bagi politikus Katolik dan umat Katolik secara umum yang mau terlibat dalam pemilihan calon pemimpin baik di tingkat kota maupun provinsi. Perlu dicatat bahwa Injil dan Ajaran Sosial Gereja (ASG) tidak memberi petunjuk secara konkrit ataupun memberi pola bagaimana suatu masyarakat atau negara itu harus ditata. Karena itu pimpinan Gereja tidak dapat memerintahkan para politisi Katolik atau umat yang ikut serta untuk mengambil suatu keputusan politik tertentu. Pemecahan masalah politik adalah hak otonomi umat dan para politisi yang bersangkutan.

Maka dari itu, supaya tidak rancu untuk memecahkan permasalahan politis diperlukan suatu tolok ukur, yang tiada lain adalah prinsip-prinsip Injili tentang bagaimana manusia harus bertindak sesuai dengan hakekat dan martabatnya sebagai manusia, sebagai anak Allah dan saudara Kristus. Meskipun prinsip-prinsip itu tidak memecahkan persoalan, namun memberikan pedoman/ petunjuk kepada umat dan para politisi Katolik.

Ada beberapa -prinsip dasar yang merupakan etika politik bagi politisi Katolik dan umat yang terlibat dalam kehidupan politik, sbb:

1. Harus ada sikap menghormati martabat manusia sebagai pribadi. Seseorang tidak boleh dijadikan alat demi mencapai tujuan politik tertentu. Karena itu, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia harus dilaksanakan. Siapapun tidak berhak menindas hak-hak asasi manusia.

2. Sejalan dengan penghormatan terhadap martabat manusia, maka prinsip kedua adalah menolak segala macam diskriminasi baik atas pertimbangan ras, etnis, suku, agama, kaya-miskin ataupun status sosial. Dengan kata lain, politisi Katolik dan umat yang terlibat untuk pesta demokrasi harus dapat mendorong dan menciptakan adanya demokratisasi dalam kehidupan masyarakat; dalam demokratisasi ini termasuk penegakan hukum dan keadilan serta pemberantasan KKN. Bahkan harus cermat ketika harus memilih pasca calon pemimpin dan pelayan masyarakat di sekitar kita.

3. Negara/ pemerintah hanyalah alat /sarana dan bukan tujuan. Karena itu manusia tidak boleh dikorbankan untuk suatu kekuasaan. Negara/ pemerintahan harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Prinsip ini menolak sistem totalierisme dan otoriterisme.

4. Prinsip subsidiaritas perlu dipegang teguh, artinya negara/ pemerintah bertugas membantu (memberikan subsidi) dan mendukung kegiatan kelompok-kelompok dalam masyarakat, bukan mematikannya. Apa yang telah mampu dikerjakan oleh masyarakat, jangan diambil oleh negara/ pemerintah.

5. Prinsip solidaritas perlu ditanamkan: solidaritas diantara anggota masyarakat bahkan antar bangsa-bangsa di dunia. Sewajarnya anggota masyarakat juga memperhatikan sebagian anggota masyarakat lain yang masih tertinggal, tanpa membedakan ras, suku, etnis, agama, keturunan, status sosial dan lain-lain.

Dari kelima prinsip diatas, maka setiap politisi Katolik maupun sebagai umat harus dapat mewujudkan pilihannya yang konkrit sebagai berikut:

a. Untuk mencapai tujuan politiknya seorang politisi Katolik dan umat yang harus memilih calon pemimpin dan pelayan masyarakat, tidak boleh memakai cara-cara yang bertentangan dengan martabat manusia, seperti perlakukan sewenang-wenang berdasarkan kekuasaan semata dengan penculikan, penyiksaan atau penganiayaan, kekerasan, teror serta perampasan hak, korupsi dan lain-lain.

b. Harus menolak ideologi yang merendahkan martabat manusia seperti rasialisme, etnosentris, apartheid, kolektivisme, chauvisme.

c. Politisi Katolik dan umat yang terlibat dalam dunia politik harus senantiasa mengusahakan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan semua orang.

d. Politisi Katolik dan umat yang terlibat dalam dunia politik harus senantiasa membela hak-hak dasar manusia dan memperluas kesempatan partisipasi masyarakat secara demokratis. Perhatiannya kepada golongan yang marginal, tertindas/ tertinggal harus besar.

e. Politisi Katolik dan umat yang terlibat dalam dunia politik harus mengusahakan perdamaian menentang hal-hal yang mengarah pada teror dan kebencian antara kelompok, ras, etnis, agama, atau antar bangsa.

Kelima macam pilihan tersebut diserahkan kepada para politisi Katolik dan umat sendiri untuk mewujudkan dalam menggunakan sarana yang dipakai (partai, ormas, organisasi, entah dengan bendera Katolik maupun bukan atau bahkan sebagai warga negara dan masyarakat). Gereja tidak menunjukkan secara konkrit, pergunakanlah partai A atau partai B dalam mencapai tujuan politik. Di manapun politisi Katolik dan umat berada, haruslah memperhatikan prinsip-prinsip yang disebut diatas. Ikutlah terlibat untuk menentukan perubahan dunia politik dan perubahan kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat di sekitar kita. Cermati dan gunakanlah hak pilih Anda untuk kesejahteraan bersama. Keterlibatan Anda menyumbangkan suatu perubahan untuk dunia. Semoga.

Dominus Vobiscum.


(Sumber: RD. @d@m Soen dalam Buletin Paroki Mingguan, 22 Juni 2008)


Friday, June 13, 2008

MY PRAYER

Saat hatiku meratap,

Waktu kudatang menghadap

Dosakah aku berharap,

masihkah ada mukjizat ?

Ku mohon ke hadiratmu,

Dalam khusuknya doaku,

Berilah aku jalanmu, untuk penuhi jalanmu,

Jalan yang begitu sulit, yang tidak pernah aku mengerti

Insaf & sesalku, siapakah yang tahu ?

Harap, tangis dan sepinya jiwaku hanya bisa terbang bersama angin malam, menghadap hadiratmu yang jauh dalam jangkauan mataku

Tuhan, jika kau sedang menyulam gambar indah buatku,

adakah kau dengar doaku ?

Adakah kau dengar ratap yang membosankan ini ?

Tuhan, dengar doaku .................

Bersujud aku tak mampu .............

Satukanlah diri ini dalam peluk malam-mu yang hangat

(Sumber: kiriman dari teman)

PENDIDIKAN NILAI DALAM KELUARGA

Syukur Komuni Pertama….

Minggu ini, Paroki kita ada sebanyak 81 anak menerima Komuni pertama. Penerimaan Sakramen Komuni Pertama adalah suatu syukur, tetapi sekaligus mengundang berbagai PR (Pekerjaan Rumah) bagi setiap keluarga Kristiani. Anak-anak kita bisa menjadi baik atau tidak, tidak datang secara instan, maka perlu pendampingan dari keluarga. Anak-anak belumlah cukup kalau hanya dididik di sekolah saja. Maka keluarga mempunyai peranan penting dalam proses perkembangan anak. Saat ini dengan berbagai media, perlu kita sadari bersama bahwa ada ”Krisis Nilai” dalam diri anak-anak dan keluarga Kristiani. Hal ini tampak dalam celoteh anak yang mengatakan secara spontan: ”Aku malas berdoa soalnya papa-mama kalau di rumah tidak pernah keliatan berdoa, papa-mama jarang ke Gereja, papa-mama tidak adil, papa sering marahi mama, mama-papa selalu bertengkar, papa-mama tidak pernah pergi ke lingkungan, dsb..dsb.....”

Keluarga sebagai Tempat Pendidikan Nilai

Melihat kenyataan-kenyataan kontradiktif dan tidak rasional seperti itu, muncul pertanyaan: Apa yang dapat dibuat di waktu kini dan akan datang untuk membentuk anak-anak dan keluarga Kristiani yang lebih bermutu dan berbudaya. Kita yakin bahwa usaha-usaha seperti itu bukanlah suatu secara instan. Upaya ini harus berjalan melalui proses panjang, tahap demi tahap, karena menyangkut banyak tuntutan perubahan radikal dalam banyak hal, antara lain dalam mentalitas, cara berfikir, cara bersikap, cara bertingkah laku.

Salah satu cara konkret yang bisa dibuat oleh setiap keluarga Kristiani untuk ikut membentuk manusia Indonesia yang bermutu dan berbudaya, yang tidak hanya cerdas dan beriman saja, tetapi juga berhati, berperasaan serta bermoral, antara lain adalah mendidik anak-anak mereka dalam bidang nilai-nilai yang dimulai sejak dini oleh orangtua (bukan hanya oleh ibunya saja atau oleh ayahnya saja, tetapi oleh kedua-duanya) di dalam keluarga. Mengapa oleh orangtua? Karena orangtualah yang meneruskan kehidupan kepada anak-anaknya.Orangtua mengemban tugas maha berat untuk mendidik putra dan putri mereka. Merekalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka, terutama pendidikan nilai-nilai manusiawi yang hakiki.

Nilai dapat dimengerti secara sederhana sebagai segala sesuatu yang positif, yang baik, indah, benar, menyenangkan, yang berguna bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan orang lain. Dan tidak dapat disangkal bahwa rumah adalah tempat dan lingkungan yang pas dan cocok, bahkan utama bagi anak-anak untuk belajar menemukan, mewujudkan atau menghayati serta memperkembangkan nilai-nilai, karena dalam kenyataannya anak, terutama yang masih kecil, lebih banyak berada di rumah daripada di tempat lain. Tugas pendidikan ini sebenarnya berakar dalam panggilan luhur suami-istri, yakni ikut berperan serta dalam karya penciptaan Tuhan sendiri. Menurunkan anak tidak hanya dalam arti kuantitatif tetapi juga dalam arti kualitatif melalui pendidikan.

Hak dan kewajiban orangtua untuk mendidik anak mempunyai beberapa ciri, yakni bersifat hakiki karena berhubungan dengan penerusan hidup, asali dan utama bila dibandingkan dengan peran orang lain dalam pendidikan terhadap anak-anaknya karena keistimewaan hubungannya yang khas dan alami dengan anak-anaknya, tidak tergantikan dan tidak dapat diambil alih oleh orang tua kepada anak-anaknya.

Meskipun orangtua mempunyai posisi yang sah dan memegang peranan penting yang sangat menentukan dalam penanam nilai-nilai itu pada anak-anak di dalam rumah, namun peranan instansi-instansi lain seperti sekolah tidak bisa diabaikan. Karena itu, dalam pendidikan nilai, kerjasama antara orangtua dan instansi-instansi penyelenggara pendidikan sangat perlu.

Nilai-Nilai Mendasar Kehidupan Manusiawi

Sebenarnya ada banyak nilai yang perlu ditanamkan pada diri anak-anak sejak dini, namun di sini saya hanya menawarkan beberapa hal yang dianggap perlu, yang hendaknya orang tua tanamkan sejak dini pada diri putra-putri di dalam keluarga.
Pertama, anak-anak hendaknya dibesarkan dengan sikap bebas yang tepat terhadap harta jasmani, dengan diajak menjalani corak hidup ugahari tanpa kemanjaan, dan dengan insyaf sepenuhnya, bahwa manusia lebih bernilai karena kenyataan dirinya sebagai manusia ciptaan Tuhan daripada apa yang dimilikinya.

Hal ini menjadi penting, karena dalam masyarakat modern yang semakin materialistis seperti sekarang ini seringkali manusia dilihat atau dinilai hanya dari apa yang ia miliki, yang dipakai, pendidikannya, pangkatnya, bahkan yang mengerikan sekarang ini, orang lain dinilai dari agamanya, dari asal-usulnya, dari golongan dan rasnya, dll. Orang lain bukan dilihat dari kenyataan bahwa ia adalah sesama manusia ciptaan Tuhan, sederajat, karena sama-sama diciptakan sebagai citra dan gambar Tuhan sendiri. Karena itu, yang kaya, yang berpangkat, berkuasa, pandai, berprestasi, dihormati atau dihargai di mana-mana. Sementara yang tidak mempunyai predikat apa-apa, yakni mereka yang miskin, bodoh, tidak berprestai, diperlakukan secara diskriminatif sebagai sampah.

Oleh karena itu, anak-anak perlu diajak untuk menghormati dan mencintai orang lain dengan tulus, baik kaya maupun miskin, baik sama agama atau tidak, baik sebangsa atau tidak, seperti ia mencintai dirinya sendiri.

Kedua, yang perlu ditanamkan dalam diri anak-anak adalah sikap adil (keadilan) yang meluap dari cinta kasih terhadap sesama.

Perpecahan dan konflik-konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat sekarang ini, juga di Indonesia, lebih sering disebabkan oleh adanya ketidak adilan. Struktur masyarakat dan sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia menciptakan situasi sedemikian rupa sehingga di satu pihak yang kuat semakin kuat, yang yang berkuasa semakin berkuasa, yang kaya semakin diperkaya; di lain pihak, yang miskin semakin diperlemah, yang bodoh semakin diperbodoh.

Ini semua terjadi karena kebanyakan orang modern sekarang, semakin individualis dan egois, tidak peduli akan nasib orang lain. Sesamanya dianggap sebagai saingan, yang mengancam ketenangan dan kemapanan. Dalam situasi jaman yang ditandai ditandai oleh gejala-gejala seperti itu, orang tua hendaknya dengan penuh cinta kasih tidak hanya menanamkan dan menimbulkan kesadaran dalam diri anak akan rasa keadilan sejati – satu-satunya nilai yang membuahkan sikap hormat terhadap martabat pribadi setiap orang – melainkan juga sikap peka penuh cinta kasih, solider terhadap sesama dengan menumbuhkan minat perhatian yang tulus serta pengabdian yang tanpa pamrih terhadap sesamanya, khususnya mereka yang paling miskin dan terlantar.

Dalam hal ini keluarga atau rumah menjadi tempat yang cocok, menjadi lingkungan pembinaan pertama dan utama serta mendasar untuk kehidupan bermasyarakat. Cinta pemberian diri dari orangtua yang terungkap dan terwujud dalam kemauan saling membahagiakan, saling memperhatikan, saling menolong, saling bekerjasama, solider, saling menghormati, dll, menjadi pola dan kepada saudara-saudaranya, teman-temannya, tetanga-tetangganya dan akhirnya meluas ke masyarakat sekitarnya.

Kalau sejak dini dalam diri anak telah ditanamkan oleh orangtuanya rasa belaskasih, berlaku adil, dll, maka nanti anakpun kalau sudah dewasa akan mewujudkannya dalam tingkah lakunya nilai-nilai itu dalam hidupnya sehari-hari, karena semuanya telah menjadi miliknya dan menjadi bagian dari hidupnya sendiri.

Ketiga, yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah nilai seksualitas. Pendidikan seksualitas bagi anak-anak sangatlah penting, karena arti dan nilai seksualitas manusia sekarang ini, sering dipersempit lingkupnya, hanya dikaitkan dengan tubuh dan kenikmatan yang biasanya bersifat egoistis semata-mata. Padahal seksualitas menyangkut seluruh pribadi manusia seutuhnya, jiwa-badan, rohani-jasmani, emosi, perasaan, cara berfikir dan cara bertindak. Dengan kata lain, seksualitas menyangkut seluruh eksistensi manusia. Cara berada seseorang sangat ditentukan oleh seksualitasnya sebagai pria atau wanita, yang menampakkan maknanya yang terdalam dengan mengantar manusia kepada penyerahan atau pemberian diri dalam kasih.

Dalam pendidikan seksualitas ini orangtua tidak bertindak sebagai guru-guru seks, melainkan lebih-lebih sebagai pribadi yang kapasitasnya menciptakan suasana yang kondusif di dalam rumah sedemikian rupa sehingga anak-anak dapat bertindak dan berperilaku baik, sopan, memahami sebagai pria atau wanita, yang pada gilirannya mereka pun akan dapat menerima orang lain apa adanya. Dengan menerima dan mencntai mereka dengan tulus hati, mendorong dan memampukan anak-anak mencintai orang lain, termasuk mereka yang lain jenis kelaminnya.

Mengingat ada keterkaitan yang begitu erat antara dimensi seksual dengan norma-norma kesusilaan, orang tua juga harus memahami norma masyarakat, yang sangat perlu bagi perkembangan pribadi dan tanggung jawab di bidang seksualitas.

Keempat, yang perlu diajarkan oleh orangtua kepada anak-anak adalah agama atau iman. Tidak bisa dipungkiri jaman saat ini, situasi hidup keagamaan di Indonesia, sungguh amat memprihatinkan. Di satu pihak kegiatan-kegiatan yang bernafaskan keagamaan begitu bersemarak, namun di lain pihak kejahatan-kejahatan, bahkan yang berbau SARA terjadi di mana-mana. Banyak dari umat beragama di Indonesia mudah terbakar oleh emosi, mudah mengutuk, berbuat anarkhi, tidak bisa berpikir jernih dan rasional. Perasaan kasih terhadap sesama manusia yang menjadi inti ajaran setiap agama tidak tampak. Yang menonjol dan dominan adalah rasa benci dan curiga terhadap umat beragama lain. Dengan demikian toleransi serta kerukunan hidup beragama terancam. Ini sungguh menyedihkan. Jika tidak segera diatasi dapat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Rupa-rupanya agama belum sepenuhnya dapat membantu setiap orang berperilaku baik. Banyak kejahatan di Indonesia justru dilakukan oleh orang-orang yang mengaku diri sebagai orang beragama. Yang lebih mengerikan lagi adalah bahwa agama kadang-kadang digunakan untuk membenarkan kejahatan yang dilakukannya. Mengapa hal-hal tersebut bisa trjadi? Ada sementara orang berpendapat, mingkin arena agama dihayati hanya secara formal saja. Kalau sudah mengerti dan percaya akan kebenaran-kebenaran agamanya, serta sudah bisa berdoa menurut peraturan-peraturan yang telah ditetapkan agamanya, orang-orang sudah merasa beres. Padahal agama atau iman itu tidak hanya dimengerti dan diungkapkan dalam doa-doa formal saja, dan harus diwujudkan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat dalam perbuatan-perbuatan dan perilaku yang baik dan benar, yang menyenangkan dan membahagiakan orang lain.

Oleh karena itu, orientasi pendidikan iman atau agama dalam keluarga, sesuai dengan perkembangan umur dan kedewasaan, rasional tentang ajaran agama. Tidak hanya agar anak-anak pandai dan rajin berdoa saja, tetapi terlebih agar anak-anak dapat mewujudkan iman dan agamanya dalam kehidupan sehari-hari dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji, yang menyenangkan dan membahagiakan orang lain. Tekanan pendidikan iman di rumah adalah membentuk perilaku yang baik dalam kehidupan keagamaan anak-anak, sehingga mereka tidak hanya takwa kepada Tuhan, tetapi juga mempunyai perasaan belas kasih dan perhatian terhadap sesama manusia. Diharapkan semakin mereka beriman atau beragama, diharaokan semakin sopan, toleran, solider, adil, semakin menghormati orang lain tanpa pandang ras dan agamanya. Intinya, anak-anak menjadi semakin mencintai Tuhan dan orang lain. Kewajiban mencintai Tuhan tidak bisa dilepaskan dari kewajiban mencintai sesame.

Hal lain yang tidak boleh dilalaikan adalah pendidikan moral. Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti tata cara, kebiasaan, adat-istiadat. Karena itu, “moral” secara sederhana dapat diartikan norma (yang biasanya dirumuskan dalam bentuk perintah atau larangan) yang menata sikap dan perilaku manusia. Perilaku disebut bermoral di samping sesuai dengan standar sosial, juga dilakukan dengan sukarela atau bebas. Maka pendidikan moral bertujuan agar anak bisa hidup menurut norma-norma yang ada dalam masyarakat (norma sosial, norma agama), serta dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah dan bisa bertindak sesuai dengan pilihan bebas suara hatinya.

Ada Kendala…pasti ada Usaha…

Semua orangtua menyadari bahwa mendidik anak dalam nilai-nilai manusiawi yang hakiki bagi kehidupan manusia adalah tidak mudah. Banyak kendalanya. Kendala bisa saja muncul dari orangtua, anak, maupun lingkungan sekitar serta media massa. Orangtua yang sibuk dengan pekerjaannya, akan mengalami kesulitan dalam menanamkan nilai-nilai tertentu pada diri putra-putrinya, karena kurang waktu untuk hidup bersama dengan mereka. Untuk itu orangtua harus membuat prioritas, menciptakan “prime time” agar bisa bertemu, berdialog, rekreasi, melakukan suatu tugas bersama-sama. Jika frekuensi pertemuan menjadi berkurang, perlu ditingkatkan intensitas (kualitas) relasinya.

Keadaan ini akan bertambah parah, jika ternyata orangtuanya sendiri tidak mampu memberikan contoh hidup yang baik, sesuai dengan nilai-nilai yang akan ditanamkan dalam diri anak. Misalnya, orangtua yang sedang mengalami krisis dalam hidup perkawinannya, di mana sudah tidak mampu menghayati nilai kesetiaan perkawinan, bagaimana mungkin mereka bisa menanamkan nilai cinta kasih, seksualitas atau kemurnian hidup, dll, kepada anak-anaknya?

Hirarki nilai yang diwujudkan dalam hidup oleh orangtuanya akan memberi pengaruh juga terhadap hiraki nilai yang dipilih dan dihayati atau diwujudkan oleh anak-anaknya. Orangtua yang melihat uang atau harta sebagai nilai tertinggi dalam hidup, karena memberikan kesenangan dan untuk itu seluruh hidupnya terfokuskan untuk mencari uang saja, memberi motivasi kepada anak untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orangtuanya.

Tak dapat dipungkiri betapa besarnya pengaruh media massa, baik cetak maupun elektronik, bagi pendidikan nilai. Melalui media massa itu, masyarakat luas menawarkan nilai-nilai tertentu pada anak-anak yang kadang-kadang berbeda bahkan berlawanan dengan nilai-nilai yang diyakini sendiri sebagai benar dan baik, yang perlu bagi anak-anak. Kehebatan media massa dalam jaman informasi seperti sekarang ini adalah kapasitasnya dalam mengubah pola hidup seseorang. Anak-anak, terutama lebih dididik oleh televisi daripada oleh orangtuanya sendiri. Oleh karena itu, dalam konteks pendidikan nilai, kerjasama antara orangtua dengan lembaga-lembaga pendidikan nilai lainnya serta dengan media massa, mutlak perlu. Alangkah idealnya kalau semua unsur tadi mengadakan komitmen bersama, demi mutu generasi bangsa di masa kini dan mendatang. Tanpa komitmen bersama, maka segala usaha yang dilakukan oleh orangtua dengan susah payah serta penuh penderitaan untuk menanamkan nilai-nilai manusiawi yang hakiki pada diri anak mereka akan sia-sia.

KELUARGAKU ADALAH ISTANAKU. Semoga menjadi kenyataan.

Dominus Vobiscum

(Sumber: RD. @d@m Soen di Buletin Mingguan Paroki St. Albertus de Trapani, 25 Mei 2008)

PANGGILAN “BIASA” MENJADI “LUAR BIASA”

Pesta Demokrasi bisa Menjadikan “CRAZY”......

Pada tahun 2008 ini, kita disibukkan dengan pemilihan pemimpin masyarakat baik itu di tingkat pusat, provinsi maupun kota. Mereka yang mencalonkan diri ingin menajdi pekerja, pemimpin sekaligus pelayan masyarakat pasti akan menawarkan banyak hal pada kita; entah apa sebutannya: visi-misi, kontrak politik, dsb..dsb. Hal ini menjadi contoh bagaimana betapa sulitnya kita mencari seorang pekerja sekaligus pemimpin yang mau sungguh bekerja dengan sepenuh hati, apalagi tanpa pamrih dan tanpa upah. Meskipun kita sungguh menghormati orang-orang yang melayani orang lain tanpa pamrih, melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan.

Tidak bisa kita pungkiri yang terjadi dalam masyarakat banyak pekerja, pemimpin sekaligus pelayan masyarakat yang ”sekedar” (tidak ada hati belas kasihan). Yang jelas dan pasti ”Pesta Demokrasi” bisa menjadikan orang “crazy” (gila). Kepedulian, perhatian, dan belaskasihan pekerja, pemimpin, pelayan masyarakat semakin diabaikan. Orang akan lebih suka mencari kedudukan, kuasa, kekayaan, populer, menang, dsb..dsb.

Menjadi Pekerja-Pekerja Kerajaan Allah....

Dalam Injil hari ini: “Yesus merasa belaskasihan kepada orang banyak dan mengajak para murid-Nya agar berdoa memohon pekerja-pekerja ke tuaian yang memang banyak” (Matius 9:36-38), “kemudian para murid-Nya diberi kuasa untuk memberitakan kerajaan Allah” (Matius 10:1-8).

Bagi para murid dan kita semua yang turut serta dipanggil menjadi pekerja-pekerja Allah dalam hidup keseharian kita, baik sebagai pengajar, dokter, kepala rumah tangga, ibu rumah tangga, Ketua RT/RW, Ketua Lingkungan, karyawan, imam, suster, dsb..dsb. Kita diajak untuk menanggapi panggilan sebagai pekerja-pekerja Kerajaan Allah. Mungkin juga sangat sederhana dan biasa, tetapi kita yakin bahwa Tuhan sendiri yang memanggilnya menjadikan kita luar biasa.

Saya tinggal di Komunitas Pastoran Paroki St. Albertus de Trapani kurang lebih 2,5 th. Waktu yang begitu cepat, ada beberapa ungkapan yang sempat saya tuliskan atau saya ingat. Yahh... kira-kira 125-an ungkapan dalam berbagai bahasa. Paling tidak ada beberapa ungkapan Jawa yang pernah saya ketemukan dari pembicaraan yang sering terjadi. Mungkin saja kita menganggap remeh, sepele, sederhana, akan tetapi yang justru sederhana bisa membuat LUAR BIASA kalau dijalani dengan ketekunan. Dan itulah yang juga ditawarkan oleh Yesus, ketika Ia memanggil para murid dan memanggil kita semua untuk mengikuti Dia bukan karena luar biasa, tetapi karena “biasa” dijadikan “luar biasa”. Kalau kita boleh merenung, justru orang yang sering menganggap luar biasa bisa jadi hidupnya justru menjadi biasa-biasa. Kenapa para murid bisa menjadi luar biasa sekalipun berangkat dari yang biasa? DOA adalah kunci jawabannya. Kuasa/kekuatan doa akan mengasah hati, pikiran dan keseluruhan hidup kita yang biasa menjadi luar biasa. Yesus tidak mengirim pekerja-pekerja yang luar biasa. Tetapi pekerja-pekerja yang biasa memiliki hati yang penuh belaskasihan seperti Dia. Pekerja-pekerja macam itu akan menjadi luar biasa kalau ditopang dengan doa.

Kiranya baik juga kalau kita boleh merenung atas ungkapan-ungkapan Jawa yang sarat makna sebagaimana diungkapkan oleh Yesus bagaimana menjadi pekerja-pekerja Kerajaan Allah di zaman saat ini:


1. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha. Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tetapi tidak gila harta .

2. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan. Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.

3. Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur tan Ngungkuli. Bekerja keras dan bersemangat tanpa pamrih; Cepat tanpa harus mendahului; Tinggi tanpa harus melebihi.

4. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman. Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja.

5. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman. Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.

6. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka, Sing Was-was Tiwas. Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka; dan barang siapa yang ragu-ragu akan rugi sendiri.

7. Aja Milik Barang Kang Elok, Aja Mangro Mundak Kendo. Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan semangat.

8. Aja Adigang, Adigung, Adiguna. Jangan sok kuasa, sok hebat, merasa diri paling segala-galanya.

9. Sing Sabar lan Ngalah Dadi kekasih Allah. Yang sabar dan mengalah akan menjadi kekasih Allah.

10. Sing Prihatin Bakal Memimpin. Siapa berani hidup prihatin akan menjadi satria, pejuang dan pemimpin.

11. Sing Resik Uripe Bakal Mulya. Siapa yang bersih hidupnya akan hidup bahagia.

12. Urip Iku Urup. Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat. Hidup tidak sekedar asal hidup saja.

13. Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti. Keberanian, kekuatan dan kekuasaan dapat dikalahkan dengan belas kasih.

14. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara. Manusia hidup di dunia harus mengusa-hakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan dunia; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.

15. Wong Becik Ketitik, Wong Ala Ketara. Orang baik akan terbukti kebaikannya, tetapi kalau orang jelek hatinya kapanpun akan kelihatan kejelekannya.

Kita semua adalah pekerja-pekerja yang diundang Tuhan mewartakan Kerajaan Allah di dunia: di keluarga, tempat kerja, lingkungan masyarakat, dsb. Jadikanlah yang ”biasa” dalam hidup kita menjadi ”luar biasa” karena terbuka akan karya-karya Tuhan. Semoga.

Dominus Vobiscum.

(Sumber: RD. @dam Soen dalam Buletin Mingguan Paroki Nuansa Kasih, 15 Juni 2008)