Pertemuan HAK Regio Jawa Juli 2010 mengandung dua tujuan: 1). Refleksi pelayanan Komisi HAK Keuskupan dan pemikiran tentang masadepan; 2). Mencari arah pelayanan penyiapan imam yang bersemangat dan mampu berdialog secara tepatguna dan berhasilguna.
1). Refleksi apa yang sudah dilakukan sejauh ini: dalam ‘sharing’ awal secara terbuka, banyak yang nyatanya sudah melakukan dialog (walau juga ada yg eksklusif); dari refleksi awal maupun sharing para pendamping konvik (walau peserta hidupbakti tak cukup terwakili) yang didahului refleksi FT Wedhabhakti (Rm. Purwatma), tampak bahwa sudah banyak yang dilakukan dari sudut personal maupun struktural, dari sudut perseorangan maupun komuniter, dari sudut hidup komuniter maupun kurikuler, dari arah seminari maupun komisi. Meskipun demikian dicermati, bahwa kurang adanya perwujudan dialog yang tertata, terencana dan terefleksikan dengan regular; dirasakan belum optimalnya corak kehadiran imam dalam masyarakat, pola penyediaan program didik seminari maupun kebersamaan antara seminari dengan pelayanan-didik akademik. Oleh sebab itu timbul sejumlah pemikiran mengenai bagaimana imam dapat disiapkan untuk menjadi insan dialog dan fasilitator dialog di tengah umat/masyarakat. Di dalamnya ada sejumlah bahan pembicaraan yang perlu kita perhatikan dalam dialog dengan rekan Islam (juga ‘Yang Lain’? ritual, sosial, kemanusiaan dan spiritual, yang mencakup segi-segi serebral, cordial dan actual: lihat bagian khusus!).
2). Arah Penyiapan imam:
a). Inti Penyiapan: ada beberapa penyiapan yang perlu dicermati seperti segi bahan dialog, organisasi, psikhis, sosiologis, kultural, politis dan spiritual. Dari padanya, segi spiritual diharapkan menjadi landasan paling inti. TUJUANNYA: agar calon imam menyadari bahwa iman pada dasarnya dialog (DV 2-6) dan bahwa LG 8 mendasari ekumene dan dialog yang dilanjutkan dalam LG 14-17 serta UR dan NAe maupun DH. Dalam hal ini GS 1 dan 4 dapat memberikan peluang real untuk situasi dan kondisi Indonesia, khususnya Jawa (plus?), sebab GS 92 mengingatkan hal-hal manusiawi yang baik dalam agama lain.
b). Langkah2 Penyiapan Imam yang bersemangat dan mampu berdialog:
1/. Bahan dialog: mencari hal-hal yang sama dalam perspektif kita dan perspektif saudara-saudara yang dari agama lain (pemahaman tentang Yang Ilahi, Kitab Suci, Rasul/Nabi, Rukun Islam/Iman). Itulah kemampuan menemukan jembatan2 penghubung antara kita dg umat dari Gereja dan agama lain (kerangka komunikasi melalui keempat kategori: ritual, sosial, kemanusiaan dan spiritual); menciptakan sarana2 penghubung yang kontekstual (alamat, peta sosio-religius, pengetahuan dasar tentang Gereja/agama lain, sarana elektronik dsb).
2/. Organisasi: Langkah mendidik adalah berbagi kesadaran diri atas dasar pengalaman hidup agar sesama dapat lebih sadar diri, tahu diri dan mampu menempatkan diri di tengah sesama maupun diri serta akhirnya dapat secara aktif ikut serta membangun masa depan bersama. Diandaikan ada pengorganisasian bahan maupun usaha. Untuk itu diperlukan suasana rumah dan struktur persekolahan yang memang membantu calon imam memperoleh integritas katolik yang tangguh namun terbuka pada umat lain.
3/. Psikhis:
a/. Psikhologi Kepribadian: Dialog adalah peristiwa yang terjadi apabila ada komunikasi dua orang atau dua pihak yang berbeda kondisi dan pandangannya. Dari sudut kesadaran diri kita tersebut, maka setiap dialog adalah proses komunikasi antara pribadi (dua atau lebih).
b/. Psikhologi Massa: Pendidikan dialog lintas-iman adalah proses harian yang dimulai dari orang yang ditugasi untuk mendidik dan intinya ‘berbagi pengalaman’ dst. Sementara itu calon imam hidup (dididik) dalam kondisi yang menciptakan sikap psikhis tertentu, yang sebagian menguatkan tetapi sebagai membuatnya rapuh menghadapi situasi baru. Calon imam atau imam (muda) perlu dilatih untuk menanggalkan situasi mapan dan berani menceburkan diri ke situasi berisiko. Dalam hal ini, suatu formation tidak diharapkan lengkap tuntas dalam segala segi, melainkan membekali dengan sikap dan mentalitas matang utk menghadapi tantangan massa, yang sering tidak sesuai dengan dugaan.
4/. Sosiologis: kita hidup dlm masyarakat majemuk dari sudut agama, budaya, ekonomis dan lingkungannya kebanyakan miskin. Mau atau tidaknya orang ber-dialog, sering menjadi soal politis atau soal ekonomis. Suatu latihan analisis sosial menjadi bekal penting bagi calon imam.
5/. Budaya pendidikan: Setiap pendidikan pada dasarnya merupakan dialog. Diperlukan pengolahan metodik-didaktik yang terbuka pada dialog antara calon imam dengan para pendamping2nya: melalui bimbingan rohani maupun pelayanan pendamping2.
6/. Kemanusiaan mendalam: Dengan kesadaran Kepancasilaan setiap manusia Indonesia tahu bahwa hidupnya bersama orang lain sehingga diakui bahwa dialog itu suatu fungsi manusiawi bagi setiap manusia; maka pertemuan kita lebih memperdalam dan mensistematisasikan sejumlah pengalaman dan pemikiran tentang dialog; bukan mulai dari kertas kosong;
7/. Keberimanan gerejawi: Sejak awal ditegaskan bahwa Gereja secara hakiki adalah dialog. Memang orang beriman hanya beriman kalau berdialog terus. Sebab iman adalah dialog manusia dengan Allah (DV 2-6). Dialog itu sesuatu yg natural; juga dialog yang melintasi batas-batas iman dilakukan Gereja sbg paguyuban umat beriman yang berkomunikasi dg orang beriman beraneka ((bdk LG a.1). Konteksnya adalah bahwa Gereja kita hidup dalam diaspora: tersebar di tengah masyarakat. Hidup dalam diaspora menuntut komunikasi terus menerus. Komunikasi itu dengan kesadaran akan isi ajaran agama lain yang perlu kita ketahui dan hargai. Dalam hal ini Gereja modern ingin menjadi bagian yang disambut baik oleh masyarakat (Kis 2: 47).
Untuk itu diperlukan sikap eklesiologis yang baru yi integritas terbuka. Dengan mentalitas eklesiologis Vatikan II itu kita dapat mencoba terus untuk memaknai simbol publik (atau agama lain) dengan kacamata iman yg sehat. Spiritualitas dialogis diperlukan supaya integritas terbuka itu.
Dalam kesadaran itulah, dialog merupakan kebutuhan sekelompok orang yang beriman kepada Yesus Kristus, karena diutus (Kis 1: 7-8)) menjadi saksi persahabatan Sang Putera; juga kepada musuh (mereka yang tidak suka kepada kita). Maka kita menyambut baik FIRA V, 2004 bahwa dialog itu tak hanya mungkin tetapi kita hayati sebagai ‘pengutusan’ dari Sang Kristus kepada setiap muridNya.
Hal itu perlu melimpah pada suatu pemahaman serta penghayatan panggilan imam yang dialogis. Pendekatan ini membawa kita untuk membaharui imamat dalam tritugasnya. Teologi mengenai Imamat Umum perlu diintegrasikan secara lebih utuh.
8/. Buahnya: Dalam dialog yang terjadi dengan pengertian akurat, kompetensi yang memadai, kita dapat menghadirkan paguyuban umat beriman yang signifikan bagi sesamanya (begitulah martyria terjadi) dan lalu Gereja relevan bagi sesama rakyat (begitulah koinonia sejati terjadi). Begitulah Inkulturasi (membenamkan umat dalam masyarakatnya) jadi penting utk pewartaan (kerygma). Hal itu dapat terwujud kalau Gereja sebagai persekutuan sungguh melakukan dialog dalam dirinya (dialog internal menjadi tumpuan dialog eksternal). Pelaksanaanya dapat juga dengan dialog karya dan dialog kehidupan (diakonia dan koinonia), yang kita syukuri dalam leitourgia.
B.ANEKA PEMIKIRAN YANG LEBIH LONGGAR:
1.DIALOG SEBAGAI PROSES DIDIK. Memang dialog sejati harus sampai menembus “dunia kedua belah pihak” Dan sejauh itu mewujudkan proses saling mendidik. FIRA I, 2.6 – 2.7: dialog itu proses. Dalam pengertian itu dapatlah dipahami bahwa dialog tidaklah monolitis dan sekali jadi, melainkan mengandung beberapa lapisan: lapisan simbol-verbal, lapisan tafsir simbol, lapisan kultur, lapisan etis, lapisan spiritual. Tanpa lapisan simbol-verbal, komunikasi sulit untuk tuntas. Cakrawala itu menolong kita memahami FIRA I, 2.9 yang mengatakan bahwa: dialog merupakan proses pencerahan (bdk Deus Caritas Est dan Caritas in Veritate). Namun dari rangkaian simbol verbal itu setiap pemula wacana maupun penerima wacana senantiasa memilih sejumlah tafsir simbol tertentu. Dialog hanya mungkin terjadi kalau dalam pertukaran simbol verbal itu kedua belah pihak saling mengerti adanya tafsir simbol itu, walau pun belum tentu menerimanya (cukup mengakui adanya tafsir simbol itu). Lapisan kedua tadi dimungkinkan oleh adanya kancah bersama, yang disediakan oleh lapisan kultur. Lapisan kultur yang penting adalah ‘lingua franca’ yang dipahami bersama oleh kedua sisi dialog. Namun penggunaan lingua franca yang sama perlu dilaksanakan dengan lapisan etis, yang pada dasarnya meletakkan orang-orang atau pihak-pihak yang berdialog pada ‘lantai komunikasi’ yang sama karena saling menerima sebagai rekan komunikasi yang setara. Cara berbicara dapat berlainan dan nada bicara pun dapat berbeda-beda, tetapi kedua sisi berdiri dan diterima sebagai berdiri pada lantai yang sama tinggi-rendahnya. Yang terakhir, sangat penting bagi dialog antara orang-orang atau pihak-pihak yang agamanya beraneka, yaitu bahwa kedua sisi itu berbicara dengan ruh yang sama, lapisan spiritual. Artinya kedua sisi itu dijiwai oleh iman bahwa sedang membicarakan relasinya dengan Yang Mahaagung: yang jauh melampui dirinya dan agamanya; jadi dengan penuh hormat kepada Yang Mahabesar.
Lapisan-lapisan dialog tersebut diperlukan, kalau suatu dialog lintas agama akan berjalan dengan realistis namun dalam spirit yang sehat. Proses itu sendiri sudah senantiasa edukatif: entah bagi generasi muda entah bagi siapa pun.
2.TAHAP-TAHAP DIALOG EDUKATIF: latihan dan praksis dialog dapat sudah mulai dalam keluarga, dilanjutkan di sekolah dasar, diperdalam di seminari menengah, dilengkapi dalam seminari tinggi, mulai dilaksanakan secara publik pada masa imamat awal dan direfleksikan serta diperkaya dalam ongoing formation (Unsur-unsur yang tampaknya berkali-kali disebut sebagai perlu dibentuk terus menerus adalah ‘motivation-building’, acara kurikuler maupun ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler; kesempatan regular maupun insidental dst). Faktum bhw penghuni seminari itu majemuk sebenarnya dapat menjadi tumpuan pendidikan dialog; apalagi ada semti diosis dan tarekat yang anggotanya berjumpa di sekolah: dialog internal menjadi tumpuan dialog eksternal.
3.LAPISAN-LAPISAN PEWUJUDAN DIALOG: Lapisan pertama adalah tahap hidup berdampingan – seadanya. Untuk itu harus diusahakan untuk mengenal tetangga. Juga diperlukan membangun relasi dengan pemangku tugas publik. Lapisan kedua adalah tahap hidup berdampingan dengan saling berkomunikasi mengenai hal-hal yang sehari-hari/informal (di sini kedua sisi sudah mulai memasuki dunia yang ‘lain’); termasuk juga: hadir dlm pertemuan formal tanpa banyak diskusi. Lapisan ketiga adalah hidup berdampingan dengan menyadari adanya perbedaan. Lapisan keempat adalah hidup berdampingan dengan menerima adanya perbedaan. Lapisan kelima adalah membuka diri untuk mempelajari posisi pihak lain. (LG a.8.) Maka FIRA V, 2004 mengajurkan untuk memberikan informasi tentang agama lain. Lapisan keenam adalah mengakui adanya sejumlah hal baik dalam pihak lain. (bdk FABC V: LG a.8). Lapisan ketujuh adalah mengintegrasikan hal-hal baik dari pihak lain ke dalam diri sendiri. Pastores Dabo Vonis 52 menganjurkan kita mempelajari agama lain. PPCII bagian Seminari Tinggi 35,2: studi mendalam ttg agama2 dan relasi dg masyarakat. Lapisan kedelapan adalah melanjutkan komunikasi mengenai pelbagai ‘common concern’ dengan memakai ‘common goods’ dari kedua belah pihak. Nostra Aetate 2 mengajak kita kerjasama dengan orang beragama lain. Lapisan kesembilan adalah mengembangkan sejumlah pendirian yang dapat memperdamaikan sejumlah hal yang semula dirasakan sebagai berbeda. Lapisan kesepuluh adalah terus menerus berkomunikasi kendati dirasakan adanya pelbagai perbedaan. Memperhatikan lapisan-lapisan itu dapat menolong kita untuk tidak frustrasi karena mengharap hasil terlalu cepat dalam dialog, melainkan terus optimistis untuk melangkah.
4.SIKAP DASAR DIALOG EDUKATIF. Untuk berdialog diperlukan persiapan. Pertama-tama perlu dibangun sikap sadar diri dalam keterbukaan dalam batin. Sikap ini membuat manusia mengarah ke luar dirinya; bukan sibuk dengan dirinya sendiri saja. Langkah pertama ini penting agar orang siap untuk meninggalkan ‘ranah aman’ dalam dirinya sendiri. Yang kedua, orang bersikap memperhatikan yang ada di luar dirinya. Sikap ini menunjukkan bahwa orang mempunyai minat pada yang ada di luar dirinya atau kelompoknya. Juga ‘hal2 intelektual di luar kita’ (FIRA V, 2004). Yang ketiga, orang menciptakan gerak batin antara dirinya dengan yang ada di luar dirinya. Sikap ini mengaktifkan potensi relasi antara pribadi dan pihak-pihak yang berkomunikasi. Yang keempat, kesediaan untuk membangun sikap tulus. Sikap ini mau menghadapi proses dialog secara tanpa pamrih mencari keuntungan lain dari pada komunikasi. Sikap kelima, menghadapi rekan dialog dengan sikap percaya pada pribadi partner. Dengan sikap ini tercipta jembatan personal. Sikap keenam, sikap mengambil tempat yang ‘fair’ dalam perbincangan. Kita mudah sekali membandingkan segi baik kita dengan segi buruk pihak lain. Itu tidak fair. Kita berdiri sejajar. Duduk berdampingan secara ‘fair’. Maka kita memperlakukan sesama secara setara. Sikap ketujuh adalah mau belajar dan rela menerima sehingga dialog mengembangkan diri sendiri juga. Mempedulikan pembangunan sikap ini dapat menolong kita untuk mulai dialog dengan mengubah diri.
Untuk itu diperlukan kecermatan kurikulum (motivasi – iman/psikhologis, isi: iman dan wahyu serta dimensi; perubahan sikap hidup mis exposure; struktur sekolah dan struktur hidup mahasiswa di ‘rumah’ maupun di seminari; juga doa bersama dan kerjasama intelektual maupun social dg menggunakan media; kuliah itu eksplisitasi dr pengalaman)!
5.PENCIPTAAN STRUKTUR STRATEGIS PENDUKUNG DIALOG EDUKATIF. Tidak cukup kita menuntut perseorangan untuk membangun sikap dialog. Diperlukan juga penciptaan struktur-struktur hidup bersama yang secara strategis mendukung proses dialog. Komunitas/konvik lebih bertugas memfasilitasi terbentuknya sikap dasar seorang beriman yang hidup dalam masyarakat majemuk. Dari diskusi ada harapan pembentukan “pribadi yang dialogis”. Sekolah (STF/T) lebih memfasilitasi refleksi sistematis mengenai pengalaman dialog itu. Para rektor, dekan dan petugas perpustakaan dapat memfasilitasi komunikasi lintas iman. Untuk keduanya ada beberapa butir penting: Pertama-tama diperlukan suasana kultural yang bersahabat antara segala rekanan. Suasana itu menuntut staf seminari maupun stft membangun suasana dialogis. Suasana itu harus tampak dalam relasi personal maupun struktur hidup bersama. Kedua disusun pranata yang mendorong komunikasi dan memberi sanksi pada perusakan komunikasi. Pranata dialogis penting baik utk komunitas maupun sekolah. Harapannya: tercipta habitus dialogis sehingga sejak studi sampai nanti bekerja memiliki sikap dasar dan langkah2 ajeg berdialog. Ketiga, dorongan untuk sering membangun inisiatif-inisiatif masyarakat dalam berkomunikasi dengan mendukung usaha dan menghambat pertentangan. Sebab komunikasi pertama-tama merupakan sikap batin dalam masyarakat. Meskipun demikian diperlukan sekali pelatihan ketrampilan-ketrampilan dialog. Keempat: Keuskupan dan Tarekat-tarekat menunjuk tim (sedapat mungkin juga seseorang ahli) yang menggerakkan semangat dialog dalam pelayanannya, sebagaimana dianjurkan dalam Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia (1970). Dalam keempat langkah itu, Komisi HAK dapat berperan sebagai fasilitator dalam pelbagai langkah strategis itu.
6.SIMPULAN BAHAN PEMBICARAAN DENGAN SAUDARA MUSLIM (DAN LAINNYA?): (serebral-cordial-actual)
a.Lapisan ritual
b.Lapisan sosial
c.Lapisan kemanusiaan
d.Lapisan spiritual
(B.S. Mardiatmadja. besmar@indo.net.id. Tel 021-4209377. Fax: 021 4224866).