Tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat sebagai orang yang beragama, ada yang alergi atau apatis dengan politik. Hal ini nampak dari beberapa komentar: ”Politik itu busuk”, ”Politik itu kotor”, ”Politik itu merusak”, ”Politik itu menjajah”, ”Agama bukan kendaraan politik,” dsb..dsb... yang seringkali menjadi pertanyaan kita: kenapa kita kalau sudah tahu seperti itu tidak masuk di dalamnya membawa suatu perubahan; tetapi justru melihat kejelekannya. Masihkah kita sebagai warga negara, warga masyarakat dan warga beragama; masih memiliki hati untuk suatu perubahan?
Inilah PR (pekerjaan rumah) untuk kita, khususnya sebagai warga negara dan masyarakat Jawa Timur, yang akan memilih para pemimpin sekaligus pelayan masyarakat. Kita akan memilih pemimpin dan pelayan masyarakat baik di tingkat kota maupun provinsi. Harus bagaimanakah kita? Terlibat aktif? Apatis? Alergi?
Masihkah kita ingat, ketika Sri Paus Johanes Paulus II, tanggal 9 Oktober 1989 berkunjung ke Indonesia (Jakarta). Beliau mengingatkan agar umat Katolik Indonesia melakukan kewajiban-kewajiban sebagai warga negara disamping memberikan pada Allah yang wajib diberikan kepada-Nya. Umat Katolik diajak menjadi warga negara Indonesia yang baik. ”Pro Ecclesia et Patria”. Kita harus menjadi orang Katolik sejati dan orang Indonesia sejati (100% warga negara Indonesia dan 100% umat Katolik). Kalimat ini terukir dalam sejarah bangsa Indonesia yang mengungkapkan sikap banyak orang Katolik selama perjuangan kemerdekaan, dan masih terus mengilhami kehidupan Gereja di Indonesia dewasa ini.
Hidup Kita Berpolitik......
Kata politik berasal dari kata Yunani dan diambil alih oleh banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Pada zaman Yunani, negara atau lebih tepat “negara kota” disebut “polis”. Karena itu politik mempunyai arti seni untuk mengatur dan mengurus negara. Memang banyak pengertian politik, tergantung dari lingkup yang dipakai sebagai batasnya. Namun pada umumnya, politik dalam arti luas adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesejahteraan umum masyarakat. Dengan demikian, politik sebenarnya bukan hanya urusan para pejabat pemerintah atau kaum politisi saja, melainkan tanggung jawab semua warga negara. Secara sempit dalam bahasa sehari-hari kata politik itu seolah-olah hanya monopoli orang-orang yang terbatas saja. Politik sering diartikan sebagai seni para politisi untuk mengatur/ memerintah masyarakat dengan mempergunakan kekuasaan tertentu (secara demokratis, otoriter, diktator, dll).
Pada umumnya politik mencakup aneka macam kegiatan dalam suatu sistem masyarakat yang terorganisasi dalam suatu negara, yang menyangkut pengambilan keputusan (decision making) baik mengenai tujuan sistem itu sendiri maupun mengenai pelaksanaannya. Pengambilan keputusan mengenai tujuan sistem tersebut menyangkut pilihan antara beberapa alternatif. Untuk melaksanakan keputusan itu diperlukan kekuasaan (power), dan wewenang (authority), yang dalam pertentangan-pertentangan kepentingan (conflict of interrest) dapat mempergunakan cara yang meyakinkan (coercion). Oleh karena itu, teknik menghimpun kekuasaan, yang memungkinkan maksud tertentu dapat dijalankan, disebut juga berpolitik (dalam konotasi yang agak negatif). Akan tetapi kenyataan, politik memang berhubungan erat dengan kekuasaan (power).
Di sisi lain, ada juga yang mengartikan politik adalah usaha yang semata-mata membina dan menggunakan kekuasaan. Walaupun dalam kenyataaan sering demikian, namun kekuasaaan atas manusia lain tidak boleh menjadi tujuan ”an sich”, melainkan hanya ”sarana”. Penggunaan kekuasaan harus dapat dinilai menurut tujuan/ maksud yang mau dicapai dan menurut cara untuk mencapai tujuan itu.
Adapun tujuan politik sebagai kegiatan yang berhubungan dengan negara demi kesejahteraaan bersama seluruh rakyat. Lalu mengenai apa yang secara konkrit termasuk kesejahteraan itu dan secara prioritas serta cara mewujudkannya, dapat saja menimbulkan perbedaan pendapat dan pertentangan di antara politisi termasuk politisi Katolik maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dalam hal demikian prinsip yang harus dipegang teguh adalah kesejahteraan umum lebih penting daripada kesejahteraan kelompok, golongan atau pribadi. Kepentingan umum harus didahulukan, sedangkan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, ras, agama harus dinomorduakan. Kalau kita boleh merenung kembali sebenarnya kehidupan kita sehari-hari juga kehidupan berpolitik, karena selalu berhubungan dengan orang lain.
Otonomi dan Tanggung Jawab ........
Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes no. 76 menyatakan: ”masyarakat politik dan Gereja di bidang masing-masing tidak bergantung satu sama lain dan otonom. Akan tetapi keduanya, meskipun berdasarkan alasan yang berbeda-beda, melayani panggilan pribadi dan sosial manusia yang sama”. Dengan demikian diakui bahwa manusia yang menjadi tujuan usaha negara dan gereja adalah sama, akan tetapi negara dan gereja dalam menjalankan tugas mereka adalah otonom. Gereja tidak berhak mendikte kepada negara/ pemerintah apa yang harus dilakukan, sebaliknya negara tidak boleh mencampuri kehidupan Gereja.
Dalam Gereja Katolik berpolitik bukan atas nama Gereja: seorang Katolik yang terjun ke dunia politik tidak boleh sama sekali mengatasnamakan Gereja, ia tidak mewakili umat Katolik, melainkan bertindak atas nama dan berdasarkan tanggung jawab sendiri atau atas nama organisasinya. Dalam berpolitik seorang Katolik tidak berada dibawah wewenang pimpinan Hirarki. Politikus Katolik bertanggung jawab terhadap kesadaran dan suara hatinya sendiri. Dalam arti inilah ia bersifat otonom.
Meskipun politikus Katolik bersifat otonom dan bertanggung jawab atas kesadarannya sendiri, akan tetapi kesadaran itu secara mendalam ditentukan oleh imannya. Karena itulah dalam iman katoliknya, ia harus diresapi oleh cinta kasih Allah, bahwa ia harus melibatkan diri dalam dunia politik demi pelayanan kepada sesama manusia dan kesejahteraan bangsa, negara dan masyarakat seluruhnya.
Perlu Etika Politik Katolik...
Bagi politikus Katolik dan umat Katolik secara umum yang mau terlibat dalam pemilihan calon pemimpin baik di tingkat
Maka dari itu, supaya tidak rancu untuk memecahkan permasalahan politis diperlukan suatu tolok ukur, yang tiada lain adalah prinsip-prinsip Injili tentang bagaimana manusia harus bertindak sesuai dengan hakekat dan martabatnya sebagai manusia, sebagai anak Allah dan saudara Kristus. Meskipun prinsip-prinsip itu tidak memecahkan persoalan, namun memberikan pedoman/ petunjuk kepada umat dan para politisi Katolik.
Ada beberapa -prinsip dasar yang merupakan etika politik bagi politisi Katolik dan umat yang terlibat dalam kehidupan politik, sbb:
1. Harus ada sikap menghormati martabat manusia sebagai pribadi. Seseorang tidak boleh dijadikan alat demi mencapai tujuan politik tertentu. Karena itu, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia harus dilaksanakan. Siapapun tidak berhak menindas hak-hak asasi manusia.
2. Sejalan dengan penghormatan terhadap martabat manusia, maka prinsip kedua adalah menolak segala macam diskriminasi baik atas pertimbangan ras, etnis, suku, agama, kaya-miskin ataupun status sosial. Dengan kata lain, politisi Katolik dan umat yang terlibat untuk pesta demokrasi harus dapat mendorong dan menciptakan adanya demokratisasi dalam kehidupan masyarakat; dalam demokratisasi ini termasuk penegakan hukum dan keadilan serta pemberantasan KKN. Bahkan harus cermat ketika harus memilih pasca calon pemimpin dan pelayan masyarakat di sekitar kita.
3. Negara/ pemerintah hanyalah alat /sarana dan bukan tujuan. Karena itu manusia tidak boleh dikorbankan untuk suatu kekuasaan. Negara/ pemerintahan harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Prinsip ini menolak sistem totalierisme dan otoriterisme.
4. Prinsip subsidiaritas perlu dipegang teguh, artinya negara/ pemerintah bertugas membantu (memberikan subsidi) dan mendukung kegiatan kelompok-kelompok dalam masyarakat, bukan mematikannya. Apa yang telah mampu dikerjakan oleh masyarakat, jangan diambil oleh negara/ pemerintah.
5. Prinsip solidaritas perlu ditanamkan: solidaritas diantara anggota masyarakat bahkan antar bangsa-bangsa di dunia. Sewajarnya anggota masyarakat juga memperhatikan sebagian anggota masyarakat lain yang masih tertinggal, tanpa membedakan ras, suku, etnis, agama, keturunan, status sosial dan lain-lain.
Dari kelima prinsip diatas, maka setiap politisi Katolik maupun sebagai umat harus dapat mewujudkan pilihannya yang konkrit sebagai berikut:
a. Untuk mencapai tujuan politiknya seorang politisi Katolik dan umat yang harus memilih calon pemimpin dan pelayan masyarakat, tidak boleh memakai cara-cara yang bertentangan dengan martabat manusia, seperti perlakukan sewenang-wenang berdasarkan kekuasaan semata dengan penculikan, penyiksaan atau penganiayaan, kekerasan, teror serta perampasan hak, korupsi dan lain-lain.
b. Harus menolak ideologi yang merendahkan martabat manusia seperti rasialisme, etnosentris, apartheid, kolektivisme, chauvisme.
c. Politisi Katolik dan umat yang terlibat dalam dunia politik harus senantiasa mengusahakan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan semua orang.
d. Politisi Katolik dan umat yang terlibat dalam dunia politik harus senantiasa membela hak-hak dasar manusia dan memperluas kesempatan partisipasi masyarakat secara demokratis. Perhatiannya kepada golongan yang marginal, tertindas/ tertinggal harus besar.
e. Politisi Katolik dan umat yang terlibat dalam dunia politik harus mengusahakan perdamaian menentang hal-hal yang mengarah pada teror dan kebencian antara kelompok, ras, etnis, agama, atau antar bangsa.
Kelima macam pilihan tersebut diserahkan kepada para politisi Katolik dan umat sendiri untuk mewujudkan dalam menggunakan sarana yang dipakai (partai, ormas, organisasi, entah dengan bendera Katolik maupun bukan atau bahkan sebagai warga negara dan masyarakat). Gereja tidak menunjukkan secara konkrit, pergunakanlah partai A atau partai B dalam mencapai tujuan politik. Di manapun politisi Katolik dan umat berada, haruslah memperhatikan prinsip-prinsip yang disebut diatas. Ikutlah terlibat untuk menentukan perubahan dunia politik dan perubahan kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat di sekitar kita. Cermati dan gunakanlah hak pilih Anda untuk kesejahteraan bersama. Keterlibatan Anda menyumbangkan suatu perubahan untuk dunia. Semoga.
(Sumber: RD. @d@m Soen dalam Buletin Paroki Mingguan, 22 Juni 2008)