Belum lama ini, kita telah menjalani Masa Prapaskah bersama Gereja dengan tema APP 2008: Kesejatian Hidup dalam pemberdayaan Lingkungan Hidup. Dalam pergumulan bersama dengan tema di atas banyak hal telah kita temukan, kita pahami, kita mengerti dan kita maknai. Kesejatian Hidup hanya bisa berdaya ketika umat beriman menemukan Yesus sendiri sebagai sumbernya. Yesus sebagai tanda kehadiran Allah selalu memperbaharui umat beriman dan alam semesta; termasuk di dalamnya lingkungan hidup di sekitar kita.
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kelesuhan, keputus-asaan, ditolak, kesepian, terluka, tidak berdaya, gelisah, tidak ada gairah, apatis (cuek), seringkali menggerogoti jiwa kita, sehingga tidak jarang konflik menjadi “multi vitamin hidup”. Masihkah ada harapan yang lebih cerah? Masihkah ada multi vitamin yang lebih dahsyat lagi? Irek, XonCe, Hemaviton, Redocson? Bukan itu!!!
PASKAH adalah multi-vitamin kita. Paskah menjadi pusat hidup setiap orang Kristiani. Paskah bukan hanya suatu peristiwa biasa. Paskah menjadi kekuatan bagi setiap orang Kristiani. Paskah tidak menawarkan keputusasaan kegelisahan, kecemasan, keta-kutan, tanpa semangat, luka, penolakan; tetapi justru sebaliknya Paskah menjadi multi-vitamin, yakni menawarkan harapan dan hidup baru bagi orang-orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Allah (bdk. Yoh 11:25-26; Mzm 22:1-32). Karena, lewat Kebangkitan Yesus dari alam maut penuh kemuliaan dan kemenangan; kita Hidup Baru. Artinya bahwa suasana hidup kita menjadi bergairah dan Dinamis. Jangan biarkan lagu Alleluya…Alleluya. ……….Alleluya menjadi loyo! Tetapi Alleluya menjadi lagu yang hidup dalam diri setiap orang Kristiani. Suasana diri kita sendiri, keluarga, lingkungan, wilayah, stasi dan Paroki menjadi hidup, karena disemangati dan diresapi oleh Kristus yang sengsara, wafat dan bangkit dengan jaya.
Dalam kesempatan Paskah ini baik juga kalau saya sharingkan pengalaman seorang teman yang boleh mengalami kebangkitan Paskah, ”Allahku ya Allahku, Mengapa Kau Tinggalkan Daku”:
Kita tentu sudah hafal dan tidak asing lagi dengan seruan Yesus menjelang wafatNya di kayu salib, bahkan menjelang Paskah, setiap Minggu Palma kita seolah-olah ikut menjadi Yesus yang menyerukan kalimat ini, Allahku...ya...Allahku, Mengapa Kau Tinggalkan Daku? Tidak hanya Minggu Palma, tetapi juga dipertegas pada Jumat Agung, kita telah berapa kali mendengarkan ratapan Yesus ini.
Sebuah perasaan aneh menjalari hati saya ketika pada misa Minggu Palma lalu saya ikut menyerukan mazmur tanggapan dengan seruan ini. Dan kemudian dipertegas lagi saat Jumat Agung dalam peristiwa yang nyata kisah Cinta Yesus. Sebuah keterbatasan dan ketidakberdayaan terbersit dalam benak saya saat itu, semakin sering saya mengulang kalimat itu, menyelusupi benak saya akan sebuah kepasrahan yang mendalam.
Lalu apakah demikian dengan Yesus? Apakah Yesus mampu merasakan demikian saat itu? Bukankah Yesus adalah Putra Allah, berasal dari Roh, mungkinkah merasakan sebuah ketidakberdayaan, keterbatasan, dan kepasrahan? Ah ... itu mungkin hanya pertanyaan dari sudut pandang saya seorang manusia! Lalu saya mencoba menoleh dalam diri saya sendiri, ketika saya menyerukan demikian, mengapa ada sensasi aneh seperti itu? Mengapa tiba-tiba terbersit pertanyaan seperti itu, bukankah tidak sekali ini saya mendengar dan melantunkan seruan itu? Sedetik kemudian saya sadar, bahwa ternyata saya sedang menyerukan diriku sendiri, menyerukan ketidakberdayaan dan keterbatasanku sendiri!
Banyak kejadian dan kegagalan dalam hidup yang membuat saya secara sadar atau tidak sering mengeluh, Allahku ya Allahku, mengapa Kau tinggalkan Aku? Saat itu saya marah, saya sedih bahkan saya ingin menggugat Allah, dimana Engkau Allah? Ketika saya dicampakkan orang lain, ketika saya gagal meraih semua anganku? Cinta saya yang kandas, menyisakan luka yang teramat sakit, cinta saya dibalas makian dan tolakan, sampai saya tak tahu apa itu harga diri? Lebih menyesakkan dada saya harus menyembunyikan luka saya sendiri, menyembunyikan aib sendiri, tak ada yang boleh tahu kecuali kamar pengakuan.
Akhirnya saya insaf, manusia adalah tetap manusia dengan segala ketidakberdayaan dan keterbatasannya, namun ketika kita mau, bahkan selagi kita mampu berseru Allahku, ya Allahku mengapa Kau tinggalkan Daku? Bukankah berarti kita masih mengingat Allah? Entah dapat kita rasakan atau tidak, hanya dengan mengingat Allah, sedikit kekuatan akan menjalari hati kita untuk berusaha berdiri, meski sulit! Itulah yang saya rasakan ketika itu. Pelan-pelan saya menyadari lagi, pada saat saya berseru dengan pemberontakkan hati, kemarahan hati, Allah membisu, bahkan seolah memalingkan muka, tetapi ketika saya berseru dengan rasa ‘bersandar’ pada Allah, saya merasakan Allah seolah memeluk saya dalam sebuah kedamaian hati.
Dari situ saya dapat berusaha berdiri menghadapi diriku, berjalan dalam hidup yang kadang sulit saya mengerti kemana alur dan tujuannya. Sungguh saya mengalami pembaharuan hidup. Tuhan Yesus buatlah, saya semakin memahami dan memaknai rahasia CintaMu .
Sharing ini bukanlah suatu kesaksian yang berhenti pada satu titik, tetapi saya masih berproses untuk menemukan Cinta Yesus yang lebih dalam. Lewat sharing ini saya hanya berbagi dan siapapun yang membaca, saya ingin kita lebih bisa memaknai hidup kita. Berserulah kepada Allah tanpa ragu, selama kita masih mampu berseru; mengeluhlah pada Allah sepuas-puasnya, menangislah dihadapan Allah sejadi-jadinya, Dia akan selalu memberi jawaban dalam damai, bagi hati yang bersandar padaNya.
(NN.)
Semoga semangat Yesus Kristus menjadi multi-vitamin bagi kehidupan kita.
SELAMAT PASKAH 2008
Alleluya...Alleluya.....Alleluya......
(Sumber: RD. @dam Soen, Pr. di buletin Paroki Nuansa Kasih Minggu 23 Maret 2008)