Hari ini kita merayakan Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam, sekaligus kita menutup Tahun Liturgi A dan akan masuk ke Tahun Liturgi B dengan diawali masa Adventus. Dalam perayaan ini, kita diingatkan kembali bahwa Yesus sendiri sangat mencintai semesta alam dan segala isinya, termasuk di dalamnya manusia yang diciptakan secara istimewa (Bdk. Mazmur 8). Yesus Kristus Raja Semesta Alam menjadi pembimbing dan pengarah dalam keseluruhan hidup umat beriman. Hal inilah yang setiap saat, setiap waktu direnungkan gereja dalam seluruh rangkaian Tahun Liturgi Katolik. KecintaanNya itu diwujudnyatakan dalam hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan,dimana Yesus sungguh menjadi Raja atas maut dan atas semua ciptaan Bapa-Nya dalam alam semesta ini.
Belajar dari pengalaman….
Dalam sebuah buku yang berjudul “Managing Change in Schools”, karangan P.Whitaker dikisahkan sebagai berikut:
“Tahun lalu saya (Tony Watkins) memperoleh kesempatan untuk olah raga’arung jeram’ di sungai Motu dua kali. Sungai Motu merupakan sungai yang ganas di North Land; perjalanan dari hulu ke hilir membutuhkan waktu empat hari lamanya. Perjalanan dipimpin oleh seorang bernama “Kiwi”, orangnya berpengalaman dan lembut dalam tutur kata. Kami merasa suaranya ajakannya tak akan dapat mengalahkan suara gaduh riam-riam sungai Motu. Apa mungkin dia memimpin kami? Kami diminta mulai mendayung, riam pertama sudah di depan mata dan ia tidak mengeluarkan suara apa-apa. Ia tidak memberi komando kepada kami maupun kepada sungai. Dengan ramah dan tenang ia nampak merasakan suasana ‘hati’ sungai dan menikmati setiap pusaran air. Tidak ada ‘drama’ yang menggetarkan dengan teriakan. Tidak ada pertandingan untuk dimenangkan. Ia mencintai sungai. Kami melintasi setiap riam dengan damai dan keindahan, dan setelah satu hari sungai menjadi sahabat kami, bukan ‘musuh yang harus dikalahkan’. Kiwi yang tenang bukan pemimpin kami, tetapi hanya seorang pribadi yang peka terhadap apa yang terjadi, dan terungkap dalam tawa-ria menggantikan ketegangan untuk berprestasi. Kiwi yang lembut mempercayai dan membiarkan kami semua masing-masing ‘berbalik’ menjadi pemimpin. Satu anggukan lembut dari Kiwi cukup bagi kami untuk menghadapi apa yang ada di depan. Jika kami membuat kesalahan, ia menertawakannya. Kami mulai ‘menembus’ sungai Motu. Sekarang, seperti Kiwi yang lembut, kami juga mendengarkan sungai dan melihat dengan hati-hati yang terjadi: semua yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada akhir perjalanan kami tidak mengatasi apa-apa, kecuali diri kita sendiri. Kami tidak meninggalkan sungai sahabat kami. Tidak ada pertandingan, tidak ada sesuatu yang harus dimenangkan. Lebih dari itu kami sungguh menjadi satu dengan sungai. Dalam peziarahan, baik selama perjalanan maupun pada akhirnya, kami sungguh berada dalam damai dan keindahan; dan yang tak kalah penting kami menjadi satu dengan sungai serta mencintainya”.
Yesus Raja semesta Alam seorang pemimpin….
Dari kisah ini, kita dapat memahami dan memaknai bahwa Yesus adalah “Raja Semesta Alam”. “Kiwi” sebagai pemimpin sangat mengasihi mereka yang ia pimpin maupun sungai atau alam yang harus mereka arungi atau lalui, sehingga yang dipimpin pun saling mengasihi serta mengasihi dan menikmati alam yang indah; sungai dengan arusnya. Bisa jadi ‘Kiwi’ boleh dikatakan meneladan Yesus, Raja Semesta Alam. Yesus menjadi Raja semesta alam, bukan beerarti tanpa resiko dan salib. Justru Yesus berani menghadapi dan menjalani resiko dalam salib. Yesus dalam puncak penderitaanNya, di kayu salib menunjukkan kasih pengampunanNya kepada penjahat yang bertobat, dan ketika Ia wafat di kayu salib, alampun ikut berduka alias simpati kepadaNya, “hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga, sebab matahari tidak bersinar. Dan tabir Bait Suci terbelah dua” (Luk23:44-45) YesusKristus Raja Semesta Alam, tidak duduk di kursi empuk, ruang ber-AC dengan berbagai fasiltas; melainkan Yesus berada di ketinggian di alam terbuka, tergantung di kayu salib. Dalam ketinggian bumi inilah Ia menyerahkan Diri sepenuhnya kepada dunia dan Bapa yang mengutusNya. Dan dengan demikian Ia menjadi pengantara ‘dunia’ dan ‘sorga’, pengatara umat manusia dengan Allah. Ia menyalurkan rahmat kehidupan Allah sendiri kepada dunia dan umat manusia baik dalam doa, keluh kesah serta harapan.
Dalam peristiwa hari Raya “Yesus Kristus, Raja Semesta Alam”, kita diundang dan diingatkan bahwa kita yang beriman kepadaNya juga dipanggil untuk menjadi ‘penyalur’ rahmat yakni penyalur rahmat Allah kepada dunia alam semesta, sesama maupun dambaan, segala harapan kepada Allah. Kita sebagai penyalur mestinya kita harus jujur, disiplin, setia, tidak mengeluh dan menggerutu meskipun ada saatnya harus menderita. Seorang pemimpin yang dijiwai semangat Yesus adalah seorang yang dalam tugas perutusan, pekerjaan atau kesibukan apapun kita senantiasa siap sedia untuk menjadi penyalur rahmat dan berkat Allah, yakni penyalur kebaikan dan kasih pengampunan kepada sesama kita di manapun dan kapanpun juga. Dengan demikian kita mampu juga mencintai semesta alam dengan segala isinya, termasuk di dalamnya kita semakin mencintai lingkungan hidup. Siapapun bisa dipilihnya menjadi pemimpin yang mencintai.
Panggilan menjadi Pemimpin dan penyalur Rahmat Allah….
Umat beriman diundang untuk selalu meneladan Kristus Raja semesta alam sebagai pemimpin sekaligus penyalur rahmat Allah yang mencinta. Sangat menarik juga apa yang dituliskan dalam sebuah buku: “Menjadi pemimpin Efektif” karangan Dr. Thomas Gordon, PT Gramedia, Jakarta 1995, hal. 2, sebagai berikut:
"Dalam masyarakat kita yang dalam kenyataannya sering terlupakan, banyak orang entah terpaksa atau tidak harus menduduki posisi sebagai pemimpin sebuah kelompok. Mereka yang menjadi orangtua adalah pemimpin bagi anak-anak mereka. Guru pun, adalah seorang pemimpin bagi murid-murid mereka. Tiap orang adalah seorang pemimpin ketika ia dipilih untuk mengepalai sebuah komite atau sebuah satuan tugas, ketika dipilih sebagai ketua organisasi kemasyarakatan, demikian pula bila ia seorang pembina pramuka atau pembina suatu acara perkemahan”.
Dari apa yang dituliskan diatas, kalau boleh saya merenungkan “siapapun bisa dipilihnya menjadi pemimpin yang mencintai”. Kita sebagai umat beriman telah dipilihnya untuk meneladan hidup Yesus yakni menjadi pemimpin; raja alam semesta yang mencinta. Kita sebagai umat beriman sesuai dengan anugerah dan karisma masing-masing harus berani mempimpin diri kita sendiri, keluarga, lingkungan, rekan kerja, dsb. dengan tetap dalam suasana hati yang mencinta. Bagaimana dengan kehidupan kita? Sudahkah dalam panggilan kita; entah menjadi imam, suster, DPP, orang tua, dokter, pemimpin perusahaan, karyawan, dsb. kita menjadi pemimpin sekaligus penyalur rahmat Allah yang mencinta?Semoga.
Dominus Vobiscum.
(Sumber: @d@m Soen, Pr. dalam Buletin Nuansa Kasih, Paroki St. Albertus de Trapani, Minggu 23 November 2009)
Bila malam sudah beranjak mendapati Subuh, bangunlah sejenak. Lihatlah istri Anda yang sedang terbaring letih menemani bayi Anda. Tataplah wajahnya yang masih dipenuhi oleh gurat-gurat kepenatan karena seharian ini badannya tak menemukan kesempatan untuk istirahat barang sekejap. Sesudahnya, bayangkanlah tentang esok hari. Di saat Anda sudah bisa merasakan betapa segar udara pagi, Tubuh letih istri Anda barangkali belum benar benar menemukan kesegarannya. Sementara anak-anak sebentar lagi akan meminta perhatian bundanya, membisingkan telinganya dengan tangis serta membasahi pakaiannya dengan pipis tak habis-habis. Baru berganti pakaian, sudah dibasahi pipis lagi. Padahal tangan istri Anda pula yang harus mencucinya Di saat seperti itu, apakah yang Anda pikirkan tenang dia? Masihkah Anda memimpikan tentang seorang yang akan senantiasa berbicara lembut kepada anak-anaknya seperti kisah dari negeri dongeng sementara di saat yang sama Anda menuntut dia untuk nenjadi istri yang penuh perhatian, santun dalam bicara, lulus dalam memilih kata serta tulus dalam menjalani tugasnya sebagai istri, termasuk dalam menjalani apa yang sesungguhnya bukan kewajiban istri tetapi dianggap sebagai kewajibannya.
Sekali lagi, masihkah Anda sampai hati mendambakan tentang seorang perempuan yang sempurna, yang selalu berlaku halus dan lembut? Tentu saja saya tidak tengah mengajak Anda membiarkan istri kita membentak anak-anak dengan mata membelalak. Tidak. Saya hanya ingin mengajak Anda melihat bahwa tatkala tubuhnya amat letih, sementara kita tak pernah menyapa jiwanya, maka amat wajar kalau ia tidak sabar. Begitu pula manakala matanya yang mengantuk tak kunjung memperoleh kesempatan untuk tidur nyenyak sejenak, maka ketegangan emosinya akan menanjak. Disaat itulah jarinya yang lentik bisa tiba-tiba membuat anak kita menjerit karena cubitannya yang bikin sakit.
Apa artinya? Benar, seorang istri yg baik memang tak boleh bermanja-manja secara kekanak-kanakan, apalagi sampai cengeng. Tetapi istri berbakti tetaplah manusia yang membutuhkan penerimaan. Ia juga butuh diakui, meski tak pernah meminta kepada Anda. Sementara gejolak-gejolak jiwa yang memenuhi dada, butuh telinga yang mau mendengar. Kalau kegelisahan jiwanya tak pernah menemukan muaranya berupa kesediaan untuk mendengar, atau ia tak pernah Anda akui keberadaannya, maka jangan pernah menyalahkan siapa-siapa kecuali dirimu sendiri jika ia tiba-tiba meledak. Jangankan istri kita yang suaminya tidak terlalu istimewa, istri lain pun pernah mengalami situasi-situasi yang penuh ledakan, meski yang membuatnya meledak-ledak bukan karena suami tak mau mendengar melainkan semata karena dibakar api kecemburuan.
Alhasil, ada yang harus kita benahi dalam jiwa kita. Ketika kita menginginkan ibu anak-anak kita selalu lembut dalam mengasuh, maka bukan hanya nasehat yang perlu kita berikan. Ada yang lain. Ada kehangatan yang perlu kita berikan agar hatinya tidak dingin, apalagi beku, dalam menghadapi anak-anak setiap hari, Ada penerimaan yang perlu kita tunjukkan agar anak-anak itu tetap menemukan bundanya sebagai tempat untuk memperoleh kedamaian, cinta dan kasih-sayang. Ada ketulusan yang harus kita usapkan kepada perasaan dan pikirannya, agar ia masih tetap memiliki energi untuk tersenyum kepada anak-anak kita. Sepenat apa pun ia.
Ada lagi yang lain: pengakuan. Meski ia tidak pernah menuntut, tetapi mestikah kita menunggu sampai mukanya berkerut-kerut. Karenanya, marilah kita kembali ke bagian awal tulisan ini. Ketika perjalanan waktu telah melewati tengah malam, pandanglah istri Anda yang terbaring letih itu. lalu pikirkankah sejenak, tak adakah yang bisa kita lakukan sekedar untuk menqucap terima kasih atau menyatakan sayang? Bisa dengan kata yang berbunga-bunga, bisa tanpa kata. Dan sungguh, lihatlah betapa banyak cara untuk menyatakannya. Tubuh yang letih itu, alangkah bersemangatnya jika di saat bangun nanti ada secangkir minuman hangat yang diseduh dengan dua sendok teh gula dan satu cangkir cinta. Sampaikan kepadanya ketika matanya telah terbuka, Ada secangkir minuman hangat untuk istriku. Perlukah aku hantarkan untuk itu?
Sulit melakukan ini? Ada cara lain yang bisa Anda lakukan. Mungkin sekedar membantunya menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak, mungkin juga dengan tindakan-tindakan lain, asal tak salah niat kita. Kalau kita terlibat dengan pekerjaan di dapur, memandikan anak, atau menyuapi si mungil sebelum mengantarkannya ke TK, itu bukan karena gender-friendly; tetapi semata karena mencari berkat. Sebab selain niat ikhlas karena Tuhan, tak ada artinya apa yang kita lakukan. Kita tidak akan mendapati amal-amal kita saat berjumpa dengan Tuhan. Kini, apa yang ingin Anda lakukan, terserah Anda. Yang jelas, ada pengakuan untuknya, baik lewat ucapan terima kasih atau tindakan yang menunjukkan bahwa dialah yang terkasih. Semoga dengan kerelaan kita untuk menyatakan terima-kasih, tak ada airmata duka yang menetes dari kedua kelopaknya. Semoga dengan kesediaan kita untuk membuka telinga baginya, tak ada lagi istri yang berlari menelungkupkan wajah di atas bantal karena merasa tak didengar. Dan semoga pula dengan perhatian yang kita berikan kepadanya, kelak istri kita akan berkata tentang kita pada Malaikat Surga untuk mengampuni kita.
Sesudah engkau puas memandangi istrimu yang terbaring letih, sesudah engkau perhatikan gurat-gurat penat di wajahnya, maka biarkanlah ia sejenak untuk meneruskan istirahatnya. Hembusan udara dingin yang mungkin bisa mengusik tidurnya, tahanlah dengan sehelai selimut untuknya. Hamparkanlah ke tubuh istrimu dengan kasih-sayang dan cinta yang tak lekang oleh perubahan, Semoga engkau termasuk laki-laki yang mulia, sebab tidak memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia. Sesudahnya, kembalilah ke doamu. Marilah kita ingat kembali ketika pertama kali janji nikah diucapkan. Kita telah mengambil istri kita sebagai amanah dari Tuhan. Kelak kita harus melaporkan kepada Tuhan bagaimana kita menunaikan amanah dari-Nya apakah kita mengabaikannya sehingga gurat-gurat an dengan cepat menggerogoti wajahnya, jauh awal dari usia yang sebenarnya?
Ataukah, kita sempat tercatat selalu berbuat baik untuk istri, Saya tidak tahu. Sebagaimana saya juga tidak tahu apakah sebagai suami Saya sudah cukup baik jangan-jangan tidak ada sedikit pun kebaikan di mata istri. Saya hanya berharap istri saya benar-banar memaafkan kekurangan saya sebagai suami. Indahnya, semoga ada kerelaan untuk menerima apa adanya.
Hanya inilah ungkapan sederhana yang kutuliskan untuknya. Semoga Anda bisa menerima ungkapan yang lebih agung untuk istri Anda.
Sumber kiriman dari temen yang tengah berjuang bersama isterinya
Aku akan meng-CREDIT cintaku padamu, bila kamu men-DEBIT untukku cintamu. Aku akan mencatat asmara kita dalam sebuah JOURNAL, dan mem-POST-ingnya ke dalam NERACA hatiku. Aku akan menjaga sebuah ACCOUNT cintamu, berdasarkan DOUBLE-ENTRY. Dengan cara ini kamu akan tahu BALANCE credit atau debit, dan AMOUNT dari cintaku padamu. Kemesraan kita tercatat dalam WORKSHEET. Kadang perlu kita lakukan ADJUSTING ENTRIES untuk menjaga cinta kita tetap kokoh. TRIAL BALANCE memperlihatkan bahwa kita serius satu sama lain, sebab Total dari cinta kita ternyata satu dan sama. Maka kita lakukan CLOSING ENTRIES saat kita setuju untuk menikah. PROFIT & LOSS statement, menyatakan apa yang telah terjadi kemudian, mari bersama-2 kita lihat BALANCE SHEET kita, apa saja ASSETS & LIABILITIES kita ?????
Ya ampun..... sudah selusin anak rupanya.... Habis lupa di AUDIT sih....
The tension between religious groups in Indonesia had started far before the making of Indonesia. It is textured to the history of the country. Gowever, in the process of the making of Indonesia, a new religiosity emerged culturally from the concept of Indonesian weltanschauung called the Pancasila. This religiosity is a product of a socio-historical dynamics of the people of Indonesia with their cultural diversity. This religiosity proven to be able to serve the basic demand of every human being, i.e. to be treated equally and humanely. This Pancasila includes not just the believers, those who embrace certain religions. It includes also the non-believers, those who do not embrace certain religion, but being able to live with their ways of life, which is not necessarily religious. This is an inclusive-transformative religiosity.
This is religiosity has created a new civilization called Indonesian civilization, which allowed the minority including female to be treated equally. Compared to the civilizations of world’s great religions, Indonesian civilization is unique. However, the significance of this civilization is neglected by the Indonesians leaders as of today by practicing discrimination to their own people. Henceforth, he hope for Indonesia in rhis perspective of inter-religious tension is no other than going back to the fundamentals of being Indonesia, i.e. back to the 1945 Constitution agreed upon by the founders of the nation on August 18, 1945.
(1) Indonesia is a country formed out of a long history of meeting between world religions and their political forms of kingdoms and sultanates. These include Hinduism, Buddhism, Islam, and Christianity. The arrival of these religions did not necessarily altered the indigenous believes of the people but textured into it. This is apparently manifested when the people managed to form a new nation out of their long history into an independent nation state in 1945.
(2) Since its proclamation in 1945 and recognition by the international communities in 1949, the Republic of Indonesia had introduced a model of religious tolerance that is unique. This model allows religious pluralism to grow freely. In a country founded after the World War II, Indonesia is indeed a new phenomenon. Before the proclamation of independence in 1945, there were different independent nations with their various identities trying to deal with the peoples from other parts of the world, especially from Europe. There and was no Indonesia. The proclamation of Indonesian independence in 1945, marked the beginning of a new nation in the world named Indonesia. It is within this background that the model of religious tolerance is unique. It has no match theoretically in the context of church-state relationships. Being aware that this new nation has to practice justice to all of its citizens, regardless of his/her religious, ethnic and cultural backgrounds, the founders of the nation wanted religious freedom to be the foundation of this new nation.
(3) However, after different stages of its history, the model seems to be ignored. The leaders of the country seem to ignore a good intention of the founders of the nation. Consequently, a kind of religious discrimination had been practiced by the state. There are schools for certain religious group that got full financial support by the state from the primary level to the university levels, while that is not the case with people with other religious groups.
(4) This happened not because the model failed to serve the nation. It is a matter of education that failed to implement the great ideals of the founders of the nation. Consequently, the country had lost the foundation of its existence.
(5) I will argue that the model is uniquely Indonesian amongst Asian countries, and has its universal significance. Hence, it is worth to be developed.
(6) M. M. Thomas from India in his presentation to the Christian Conference of Asia (CCA) seminar of secularization in Asia in 1996 in Manila described that there are four models developed by Asian countries in dealing with secularization.[1]
1. Secularistic State:
This is a state where religion is prohibited and not supposed to exist. Religions is not recognized officially by the state. Religion has no role in public sphere. People’s Republic of China during cultural revolution practiced this model. Possibly, North Korea too.
2. Secular State:
This is a state where religions are allowed to exist and are recognized officially. However, religions should not be mixed with political life. A strong church-state separation have to be developed. India practiced this model. Possibly, South Korea, Japan, Thailand, Myanmar, etc.
3. Religious State:
This is a state where one particular religion is recognized as the official religion of the state. The state runs under the guidance of this official religion. The state supports this official religion. Others are discriminated. Pakistan practices this model. Possibly, the Philippines too.
4. The Pancasila State:
This a state where religions and ways of life are allowed to exist. Religions and ways of life are recognized by the state. Religions and ways of life are allowed to mix with political life. Indonesia is the country where the model is practiced.
(7) The models that Thomas developed signifies the role of religion in its relation to state. This is a classical issue. However, Indonesia managed to develop a model that is unique, since it included ways of live as well. The question then is, how did it happen? Why did ways of live so important that they should be considered?
(8) In order to understand this, a socio-historical analysis on the process of the making of Indonesia is helpful. This is a process where an analysis on the history of the nation should include the sociological dynamics.
(9) Sociologically speaking, Indonesia is a reality with two identities. The first is primordial. This is an identity before Indonesia was created. This is an identity that they carry with them when they were born. This includes their customs, culture, and religions. In this identity, there are the Javanese, Acehnese, Minangkabau, Batakers, Balinese, Timorese, Molluccans, etc. Various primordial identities created Indonesian pluralism.
(10) However, on top of their primordial identities, they managed to create their second and a new identity that united the plurality into a nation. This is the national identity, called Indonesia. Unfortunately, before Indonesia was created in 1945, there was no such an entity called Indonesia. It has no precedence in the history. Indonesia is a new phenomenon created in 1945 by the people who have had their own (primordial) identities. The word Indonesia itself is not found in the vocabularies of those identities.[2]
(11) As a new nation, the people of Indonesia have no problem with their primordial identity. They know exactly the meanings of becoming and behaving as a Javanese or a Batakers, etc. They were born with those identities. The problem arises to the people of Indonesia with their second identity, i.e. Indonesian identity. Since Indonesia is a newly created term and has no cultural meanings, the Indonesia people have to struggle with this problem.
(12) It is about the emptiness of their second identity that Indonesia is struggling until their present history. Since national identity is an empty concept, the people of Indonesia try to fill it with their primordial identities. Sukarno mentioned at least three great ideals trying to fill the gap. They are nationalism, Islamism and Marxism.[3] The nationalism comes from traditional Javanese culture believing that because Javanese culture is strong ancient and rich culture, it can serve as a good national identity, especially since the Javanese are the majority among various ethnic groups who created Indonesia. This especially supported by those who identified themselves with the Budi Utomo movement, a traditional movement among Javanese scholars early 20th century in East Indies later on becomes Indonesia. Islam the political ideals of Islam that was supported by several Islamic movements following Budi Utomo. They believe that since the majority of the Indonesian people are Muslims, then Islam should be logically the national identity of the nation. Marxism later on becomes Socialism is especially supported by those who have had their Western education believing that a modern state should be based upon the ideals of equality, justice, and democratic principles.
(13) Upon this strain, Sukarno proposed a solution on June 1, 1945 in his address in the Preparatory Body of Investigation of Indonesian Independence created by the Japanese rulers. The solution is the Pancasila (Five Principles). The principles he proposed are nationalism, internationalism, democracy, social welfare and lordship.[4] What Sukarno did was actually an accommodation to those three ideals. The principle of nationalism is a mean to extend the traditional Javanism into new nationalism, which includes all people who are now making Indonesia. The principles of internationalism, democracy and social welfare derived from the socialistic/marxistic ideals. Lordship meanwhile is an extension like nationalism from a limited Islam to include other religions as well since the Indonesian people embrace not just Islam, but other religions as well.
(14) Sukarno’s Pancasila later on was modified by a small group of nine members of the body into TheLordship, with the obligations to carry out Islamic law to its adherents; A just and civilized humanity; Indonesian Unity; Peoplehood guided by the spirit of wisdom in (the forms) deliberation and representations; Social Justice to all Indonesian people.[5] This formulation of the Pancasila is called the Pancasila of Jakarta Charter.[6]
(15) A day after the proclamation of Indonesian independence, on August 18, 1945 when the Preparatory Committee for Indonesian Independence met, amendments was made to the Pancasila modified by the small group of nine members because there were objections from the Christian leaders of Eastern part of Indonesia because the clause with the obligations to carry out Islamic law to its adherents from the Jakarta Charter is discriminatory.[7]
(16) The amendments made to the draft of the 1945 Constitution include several important items.[8]
1. The clause with the obligations to carry out Islamic law to its adherents from the Jakarta Charter is omitted. The new formulation of the first principle becomes the Oneness Lordship.
2. Article6 (1:) President must be an indigenous Indonesian. The clause who embraces an Islamic Religion was omitted.
3. Article 29 (1): The state is based by the principles of Oneness Lordship.
4. Third paragraph: The word Allah had been replaced by the word Tuhan.
(17) The consequences of the amendments are all Indonesians are qualified to become the president regardless of his/her religious background. This is an inclusive-transformative religiosity of Indonesia. Inclusive because it accepts the people of Indonesia as they are with their religious backgrounds and ways of life. Transformative because it is open to be transformed in that encounter.[9]
(18) This religiosity which centers at the word Tuhan instead of the word Allah gives an open opportunity to develop an equal humanity among the Indonesian people. It can be described at the chart below.
In the chart, the Absolute is perceived by the Indonesian people as Tuhan culturally. This is different culturally to the Islamic tradition, Christian tradition and other religious tradition, including the indigenous tradition of Torajans with their indigenous religion called Aluk Ta’dolo.[10]
(19) The consequences of this religiosity is enormous. All Indonesians are equal in the perspectives of the Absolute and the Indonesian constitution. This is a unique civilization, compared to the civilizations of the original place of those religions. Good examples can be mentioned to this civilization. In the history of Indonesia, there was Leimena, an Ambonese and a Christian, served as an acting president of the country during Sukarno’s presidency. In a country where Islam and the Javanese are two majorities, being able to have someone like Leimena to be appointed acting president is indeed an indication of a great civilization. So was with the appointment of Megawati Sukarnoputri, a woman to the office of the president.
(20) The Pancasila of Indonesia with its religiosity is in accordance with Hans Kung’s global responsibilities and the declaration of the parliament of World Religions in 1993 in Chicago.[11] Two main ideas of Kungs’s global responsibilities are no survival without a world ethic and there should be a minimum consensus between believers and non-believers. The Pancasila as Sukarno puts it include both believers and non-believers (socialist-marxists). Its religiosity creates human equity that qualifies Parliament of World’s Religions Global Ethic’s fundamental demand, every human being must be treated humanely. Including to this is its four irrevocable directives:
Commitment to a culture of non-violence and respect for life
Commitment to a culture of solidarity and a just economic order
Commitment to a culture of tolerance and a life of truthfulness
Commitment to a culture of equal rights and partnership between men and women
(21) The tensions between religious groups in Indonesia recently and the tendency to implement certain religious ideas into the nation state reflecting the pre-Indonesian era. This has been solved properly by the founders of the nation in 1945. If there is any hope for the people of Indonesia to avoid this kind of tension, is no other than just going back to the fundamentals of this nation-state. Recent amendments made to the 1945 Constitution had diverted Indonesia from its tolerant identity.
Bibliography
Bahar, Saafroedin, Ananda B. Kusuma, Nannie Hudawati. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.
Cobb Jr, John B. Transforming Christianity and the World: A Way beyond Absolutism and Relativism. Edited and Introduced by Paul F. Knitter. Maryknoll New York: Orbis Books, 1999.
Eka Darmaputera. Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society. Leiden: E. J. Brill, 1988.
Hatta, Mohammad. Memoir. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1979.
Hick, John. God Has Many Names. Philadelphia: Westminster Press, 1992.
Küng, Hans and Karl-Josef Kuschel (ed). A Global Ethic: The Declaration of the Parliament of the World’s Religions. New York: Continuum, 1993.
Küng, Hans. Global Responsibility: In Search of a New World Ethic. New York: Crossroad, 1991.
Reid, Anthony. ‘Indonesia: From Briefcase to Samurai Sword,’ in Alfred W. McCoy (ed), Southeast Asia Under Japanese Occupation. Monograph Series No. 22, Yale University Southeast Asia Studies, 1980.
Sukarno, Nationalism, Islam and Marxism. Translated by Karel H. Warouw and Peter D. Weldon with an introduction by Ruth T. McVey. Cornel University Modern Indonesian Project, Publication No. 48, 1984.
Thomas, M.M. ‘Asian Countries Responding to Secularization’ unpublished paper of CCA Seminar On Secularization in Asia, in Manila 1996.
[1] M. M. Thomas, ‘Asian Countries Responding to Secularization.’ unpublished paper of CCA Seminar On Secularization in Asia, in Manila 1996.
[2] The word Indonesia comes from the word Indunesians by English ethnologist Windsor Earl and later on by a German anthropologist Adolf Bastian. Cf, Eka Darmaputera, Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society (Leiden: E. J. Brill, 1988), 32.
[3] Sukarno, Nationalism, Islam and Marxism. Translated by Karel H. Warouw and Peter D. Weldon with an introduction by Ruth T. McVey. Cornel University Modern Indonesian Project, Publication No. 48, 1984.
[4] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, Nannie Hudawati. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), 63-84.
[7] Mohammad Hatta, Memoir(Jakarta: Tintamas Indonesia, 1979), 458-9. Cf. Anthony Reid, ‘Indonesia: From Briefcase to Samurai Sword,’ in Alfred W. McCoy (ed), Southeast Asia Under Japanese Occupation (Monograph Series No. 22, Yale University Southeast Asia Studies, 1980), 17, 23.
[8] Safroedin Bahar (et al), Risalah . . ., 412-420.
[9]John B. Cobb Jr., Transforming Christianity and the World: A Way Beyond Absolutism and Relativism. Edited and Introduced by Paul F. Knitter. (Maryknoll New York: Orbis Books, 1999), 45.
[10]In John Hick’s term this is cultural phenomena. Cf. John Hick,God Has Many Names (Philadelphia: Westminster Press, 1992), 53.
[11]Hans Kung, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic(New York: Crossroad, 1991), 36-40, and Hans Kung and Karl-Josef Kuschel (ed). A Global Ethic: The Declaration of the Parliament of the World’s Religions (New York: Continuum, 1993), 21-36.