Setiap kali saya diminta untuk memimpin doa spontan saya merasa sangat enggan. Alih-alih merasa sukacita. Bukan karena saya tidak mampu untuk menyusun kata-kata melainkan lebih karena ada keterlibatan unsur ketulusan hati. Bagi saya apa artinya rangkaian kata-kata yang "indah buat telinga manusia" padahal doa itu sesungguhnya ditujukan kepada Allah sendiri dan bukan untuk manusia. Lagi pula bagaimana mungkin seorang manusia mewakili orang lain dengan niat ingsun yang beragam dan berbeda-beda kepentingannya, dan diyakini seolah-olah telah terwakili semuanya oleh doa seseorang saja? Saya juga tidak menyukai doa hafalan.
Formula doa yang sudah dibakukan itu bagi saya terasa sedikit kaku, terekayasa dan tidak langsung keluar dari lubuk hati saya sendiri yang terdalam secara tulus dan sebenarnya.
Saya akui selalu merasa kagum kepada mereka yang mampu berdoa secara spontan dengan vokal menggelegar berapi-api, panjang lebar, dan mencakup berbagai masalah yang sangat bervariasi. Keluarnya begitu lancar-gencar seperti rentetan tembakan senapan mesin AK-47 (Avtomat Kalashnikov keluaran 1947). Aduhai betapa lancar dan fasihnya doa seperti itu. Lebih
merupakan untaian puisi lirik daripada prosa biasa. Puisi hukum-ganda yang mengulang-ulang kata-kata yang sama mirip orang mendaraskan mazmur. "Kami berdoa ya Tuhan, bla bla bla... Maka dari itu Tuhan, bla bla bla... sungguh Tuhan..., Hari lepas hari... bla bla bla... pribadi lepas pribadi... bla bla bla... Berkatilah acara ini, ya Tuhan... Dari awal, pertengahan, sampai akhirnya ya Tuhan, bla bla bla... Kami mohon ya Tuhan, urapilah kami dengan Roh KudusMu bla bla bla... Urapilah juga hambaMu, pembicara Si Polan ini ya Tuhan, urapilah lidahnya dengan bara api Roh KudusMu, bla bla bla... Supaya semua yang diucapkannya sungguh-sungguh berasal dariMu sendiri, ya Tuhan, bla bla bla... "
Dalam doa seperti itu unsur RASIO memegang peranan sangat penting. Mengapa? Terutama supaya tetap terpelihara kesinambungan dan rangkaian kalimat-kalimat yang masuk akal. Sangat lucu kalau sampai terjadi "slip of the tongue" dalam suatu doa resmi.
Pertanyaannya ialah apakah pendoa benar-benar memaksudkan semua kalimat doa yang diucapkannya? Apakah ada ketulusan hati yang sungguh-sungguh dalam doa itu?
Cobalah simak doa ini (hanya rekayasa kreatif spontan saja):
"Bapa, kami berdoa agar kami semakin memiliki semangat berkorban. Kami ingin sungguh-sungguh mengabdikan diri kami bagi kepentingan sesama. Yaitu sesama kami yang kini sedang ditimpa oleh berbagai musibah di negeri tercinta ini. Mereka yang tertimpa musibah banjir, tanah longsor, puting beliung, ya Tuhan. Mereka yang mengalami kecelakaan jatuhnya pesawat terbang, ya Tuhan, yang karam kapal dan kereta api yang terjun masuk ke dalam jurang. Kasihanilah mereka, ya Bapa. Berilah rakhmat dan berkat kasihMu, ya Tuhan, agar mereka mampu melewati cobaan yang sangat berat ini, ya Tuhan. Bla bla bla... dst."
Analisis: Orang tadi berdoa supaya 1) dapat memiliki semangat berkorban - supaya 2) mengabdikan diri kepada sesama -- sesama yang ditimpa berbagai musibah -- tetapi ujung-ujungnya 3) supaya Tuhan sendiri (tokoh bukan aku) berbelas kasih -- supaya 4) Tuhan memberi rakhmat dan berkat -- supaya 5) korban (orang lain) mampu melewati cobaan.
Ada urutan yang nalar dan ada bunga rampai kata-kata tetapi benarkah doa semacam ini benar-benar tulus disertai niat yang kuat untuk benar-benar melakukan tindakan nyata buat para korban itu? Apakah nyata ada lembaran "bunga mawar merah" yang benar-benar keluar koceknya? Benarkah ia mau menyumbangkan bahkan sekedar baju-baju bekasnya saja yang menumpuk di gudang? Benarkah ia sungguh-sungguh mau terjun ke lapangan membaur berelasi dengan para korban itu secara langsung? Benarkah ia mau dan rela keluar dari cangkang-keong "comfort zone"-nya sendiri dan "menguras energi, keringat dan emosinya" bagi mereka yang sungguh-sungguh sedang menderita? Entahlah! Pasti ada juga bukan tetapi mungkin bukan yang pintar berdoa tadi...
Selain doa formula dan doa spontan terdapat jenis doa lain yaitu doa yang keluar dari batin manusia. Bukan dari otak manusia, apalagi sekedar dari mulut manusia. Doa batin ini tidak dapat keluar begitu saja pada sembarang waktu. Doa batin harus dipersiapkan terlebih dahulu. Persiapan itu terutama pada "penciptaan suasananya" yang kondusif.
Berdoa itu - monolog ataupun dialog dengan Tuhan. Jadi PRASYARAT kehadiran Tuhan harus ada terlebih dahulu. Kalau tidak, lalu berdoa itu dengan atau kepada siapakah? Mampukah manusia dengan sengaja "MENGHADIRKAN" Tuhan ke dalam lingkungan di mana kita berdoa? Bukankah Tuhan berjanji bahwa di mana ada dua atau lebih orang berkumpul dalam namaNya maka di sana Ia hadir? Suatu kehadiran berdasarkan janji (promise-based) dan prasyarat (condition-based) ?
Dari Kitab I Raja-Raja kita merefleksikan bahwa Allah TIDAK HADIR (bukan tidak mau atau tidak bisa hadir; tetapi secara faktual tidak hadir saja!) dalam "angin ribut", atau dalam "gempa", atau dalam "kobaran api". Allah 'de facto' barulah dan hanya hadir saat datangnya "angin sepoi sepot basa". Apakah semuanya itu tanda-tanda yang te rjadipada pada dunia makro-kosmos? Sama sekali bukan! Itulah semua tanda-tanda pada dunia mikro-kosmos. Dunia mikro-kosmos adalah 'dunia kesadaran' dan 'dunia batiniah' manusia itu sendiri. Kita memang dapat saja berdoa sebarang waktu tetapi apakah doa semacam itu efektif atau bermanfaat? Persoalannya bukan apakah Tuhan "dapat atau mau" mendengarkan doa kita. Persoalannya terlebih pada apakah batin kita sendiri benar-benar SIAP untuk menciptakan suatu kondisi kondusif dan intim bagi suatu relasi dan komunikasi yang dialogis dan tulus.
Batin yang penuh haru-biru persoalan hidup yang memusingkan kepala adalah dilambangkan oleh "angin ribut". Batin yang tergoncang oleh kejutan-kejutan peristiwa-peristiwa duniawi yang menggentarkan dan membuat emosi terguncang dilambangkan oleh "gempa". Batin yang penuh hawa amarah, nafsu, dengki, iri hati, dendam, perseteruan dilambangkan oleh "api yang berkobar". Dalam suasana batin seperti itu bukannya Tuhan tidak bisa atau tidak mau hadir, tetapi kehadiranNya belum mungkin tertangkap oleh mata dan telinga batin manusia. Allah tentu saja senantiasa hadir (omnipresent) , tetapi kehadiranNya hanya TERSADARI saat semua huru-hara itu sudah reda dan alam menjadi tenang. Alam tenang kembali ditandai semilirnya angin sepoi-sepoi basah yang membuat hening batin manusia. Sementara itu matanyapun menjadi merem-melek saat menikmati keheningan itu. Saat itu bila Tuhan berkata-kata barulah manusia mampu menangkap suara sub-vokalNya dengan telinga batinnya yang teramat rendah daya tangkapnya.
Secara fisikal dan neural dapat dijelaskan sebagai berikut. Orang diajak berdoa pada saat mereka baru saja datang berkumpul dengan membawa berbagai persoalan hidupnya. Persoalan-persoalan itu begitu memenuhi seluruh isi otaknya dan menggema keras di dalam batinnya. Gelombang otaknya saat itu berada pada frekuensi yang tinggi yaitu bergelombang pendek. Akibatnya, bila saat itu orang berdoa maka ia hanya berdoa dari otak sadarnya saja. Batin manusia dengan "kecerdasan spiritual"-nya (spiritual intelligence) hanya berfungsi saat otaknya lebih tenang saat sedang mengeluarkan denyut gelombang dengan frekuensi yang lebih rendah (beramplitudo gelombang panjang). Hanya dalam situasi seperti inilah barulah batin manusia menjadi siaga dan siap mendengarkan atau siap berbicara. Secara fisikal situasi ini sangat nyaman dan membuat orang setengah mengantuk -- merem-melek persis seperti orang sedang rehat di kawasan pegunungan di bawah pohon yang rindang atau berbaring di padang rumput yang lembut dan dibelai oleh angin sepoi-sepoi basa. Betapa indahnya bahasa metaforik Alkitab yang menggambarkan pola "kesadaran alfa" yang sedang dialami oleh (otak) manusia.
Solusinya ialah sebelum berdoa orang hendaknya sungguh-sungguh dengan sepenuh hati mengheningkan batinnya terlebih dahulu sejenak. Sekitar kurang lebih setengah menit. Tetapi sebegitupun akan terasa sangat lama kalau dilakukan di depan publik bagi merka dengan hati serba tergesa-gesa; yang menantikan kata-kata doa apa yang bakal keluar dari mulut seorang pendoa syafaat tersebut. Hatinya tertuju pada mulut pendoa dan masih belum terbuka dan tertuju kepada Tuhannya.
Jakarta, 22 Februari 2007.
Mang Iyus
Formula doa yang sudah dibakukan itu bagi saya terasa sedikit kaku, terekayasa dan tidak langsung keluar dari lubuk hati saya sendiri yang terdalam secara tulus dan sebenarnya.
Saya akui selalu merasa kagum kepada mereka yang mampu berdoa secara spontan dengan vokal menggelegar berapi-api, panjang lebar, dan mencakup berbagai masalah yang sangat bervariasi. Keluarnya begitu lancar-gencar seperti rentetan tembakan senapan mesin AK-47 (Avtomat Kalashnikov keluaran 1947). Aduhai betapa lancar dan fasihnya doa seperti itu. Lebih
merupakan untaian puisi lirik daripada prosa biasa. Puisi hukum-ganda yang mengulang-ulang kata-kata yang sama mirip orang mendaraskan mazmur. "Kami berdoa ya Tuhan, bla bla bla... Maka dari itu Tuhan, bla bla bla... sungguh Tuhan..., Hari lepas hari... bla bla bla... pribadi lepas pribadi... bla bla bla... Berkatilah acara ini, ya Tuhan... Dari awal, pertengahan, sampai akhirnya ya Tuhan, bla bla bla... Kami mohon ya Tuhan, urapilah kami dengan Roh KudusMu bla bla bla... Urapilah juga hambaMu, pembicara Si Polan ini ya Tuhan, urapilah lidahnya dengan bara api Roh KudusMu, bla bla bla... Supaya semua yang diucapkannya sungguh-sungguh berasal dariMu sendiri, ya Tuhan, bla bla bla... "
Dalam doa seperti itu unsur RASIO memegang peranan sangat penting. Mengapa? Terutama supaya tetap terpelihara kesinambungan dan rangkaian kalimat-kalimat yang masuk akal. Sangat lucu kalau sampai terjadi "slip of the tongue" dalam suatu doa resmi.
Pertanyaannya ialah apakah pendoa benar-benar memaksudkan semua kalimat doa yang diucapkannya? Apakah ada ketulusan hati yang sungguh-sungguh dalam doa itu?
Cobalah simak doa ini (hanya rekayasa kreatif spontan saja):
"Bapa, kami berdoa agar kami semakin memiliki semangat berkorban. Kami ingin sungguh-sungguh mengabdikan diri kami bagi kepentingan sesama. Yaitu sesama kami yang kini sedang ditimpa oleh berbagai musibah di negeri tercinta ini. Mereka yang tertimpa musibah banjir, tanah longsor, puting beliung, ya Tuhan. Mereka yang mengalami kecelakaan jatuhnya pesawat terbang, ya Tuhan, yang karam kapal dan kereta api yang terjun masuk ke dalam jurang. Kasihanilah mereka, ya Bapa. Berilah rakhmat dan berkat kasihMu, ya Tuhan, agar mereka mampu melewati cobaan yang sangat berat ini, ya Tuhan. Bla bla bla... dst."
Analisis: Orang tadi berdoa supaya 1) dapat memiliki semangat berkorban - supaya 2) mengabdikan diri kepada sesama -- sesama yang ditimpa berbagai musibah -- tetapi ujung-ujungnya 3) supaya Tuhan sendiri (tokoh bukan aku) berbelas kasih -- supaya 4) Tuhan memberi rakhmat dan berkat -- supaya 5) korban (orang lain) mampu melewati cobaan.
Ada urutan yang nalar dan ada bunga rampai kata-kata tetapi benarkah doa semacam ini benar-benar tulus disertai niat yang kuat untuk benar-benar melakukan tindakan nyata buat para korban itu? Apakah nyata ada lembaran "bunga mawar merah" yang benar-benar keluar koceknya? Benarkah ia mau menyumbangkan bahkan sekedar baju-baju bekasnya saja yang menumpuk di gudang? Benarkah ia sungguh-sungguh mau terjun ke lapangan membaur berelasi dengan para korban itu secara langsung? Benarkah ia mau dan rela keluar dari cangkang-keong "comfort zone"-nya sendiri dan "menguras energi, keringat dan emosinya" bagi mereka yang sungguh-sungguh sedang menderita? Entahlah! Pasti ada juga bukan tetapi mungkin bukan yang pintar berdoa tadi...
Selain doa formula dan doa spontan terdapat jenis doa lain yaitu doa yang keluar dari batin manusia. Bukan dari otak manusia, apalagi sekedar dari mulut manusia. Doa batin ini tidak dapat keluar begitu saja pada sembarang waktu. Doa batin harus dipersiapkan terlebih dahulu. Persiapan itu terutama pada "penciptaan suasananya" yang kondusif.
Berdoa itu - monolog ataupun dialog dengan Tuhan. Jadi PRASYARAT kehadiran Tuhan harus ada terlebih dahulu. Kalau tidak, lalu berdoa itu dengan atau kepada siapakah? Mampukah manusia dengan sengaja "MENGHADIRKAN" Tuhan ke dalam lingkungan di mana kita berdoa? Bukankah Tuhan berjanji bahwa di mana ada dua atau lebih orang berkumpul dalam namaNya maka di sana Ia hadir? Suatu kehadiran berdasarkan janji (promise-based) dan prasyarat (condition-based) ?
Dari Kitab I Raja-Raja kita merefleksikan bahwa Allah TIDAK HADIR (bukan tidak mau atau tidak bisa hadir; tetapi secara faktual tidak hadir saja!) dalam "angin ribut", atau dalam "gempa", atau dalam "kobaran api". Allah 'de facto' barulah dan hanya hadir saat datangnya "angin sepoi sepot basa". Apakah semuanya itu tanda-tanda yang te rjadipada pada dunia makro-kosmos? Sama sekali bukan! Itulah semua tanda-tanda pada dunia mikro-kosmos. Dunia mikro-kosmos adalah 'dunia kesadaran' dan 'dunia batiniah' manusia itu sendiri. Kita memang dapat saja berdoa sebarang waktu tetapi apakah doa semacam itu efektif atau bermanfaat? Persoalannya bukan apakah Tuhan "dapat atau mau" mendengarkan doa kita. Persoalannya terlebih pada apakah batin kita sendiri benar-benar SIAP untuk menciptakan suatu kondisi kondusif dan intim bagi suatu relasi dan komunikasi yang dialogis dan tulus.
Batin yang penuh haru-biru persoalan hidup yang memusingkan kepala adalah dilambangkan oleh "angin ribut". Batin yang tergoncang oleh kejutan-kejutan peristiwa-peristiwa duniawi yang menggentarkan dan membuat emosi terguncang dilambangkan oleh "gempa". Batin yang penuh hawa amarah, nafsu, dengki, iri hati, dendam, perseteruan dilambangkan oleh "api yang berkobar". Dalam suasana batin seperti itu bukannya Tuhan tidak bisa atau tidak mau hadir, tetapi kehadiranNya belum mungkin tertangkap oleh mata dan telinga batin manusia. Allah tentu saja senantiasa hadir (omnipresent) , tetapi kehadiranNya hanya TERSADARI saat semua huru-hara itu sudah reda dan alam menjadi tenang. Alam tenang kembali ditandai semilirnya angin sepoi-sepoi basah yang membuat hening batin manusia. Sementara itu matanyapun menjadi merem-melek saat menikmati keheningan itu. Saat itu bila Tuhan berkata-kata barulah manusia mampu menangkap suara sub-vokalNya dengan telinga batinnya yang teramat rendah daya tangkapnya.
Secara fisikal dan neural dapat dijelaskan sebagai berikut. Orang diajak berdoa pada saat mereka baru saja datang berkumpul dengan membawa berbagai persoalan hidupnya. Persoalan-persoalan itu begitu memenuhi seluruh isi otaknya dan menggema keras di dalam batinnya. Gelombang otaknya saat itu berada pada frekuensi yang tinggi yaitu bergelombang pendek. Akibatnya, bila saat itu orang berdoa maka ia hanya berdoa dari otak sadarnya saja. Batin manusia dengan "kecerdasan spiritual"-nya (spiritual intelligence) hanya berfungsi saat otaknya lebih tenang saat sedang mengeluarkan denyut gelombang dengan frekuensi yang lebih rendah (beramplitudo gelombang panjang). Hanya dalam situasi seperti inilah barulah batin manusia menjadi siaga dan siap mendengarkan atau siap berbicara. Secara fisikal situasi ini sangat nyaman dan membuat orang setengah mengantuk -- merem-melek persis seperti orang sedang rehat di kawasan pegunungan di bawah pohon yang rindang atau berbaring di padang rumput yang lembut dan dibelai oleh angin sepoi-sepoi basa. Betapa indahnya bahasa metaforik Alkitab yang menggambarkan pola "kesadaran alfa" yang sedang dialami oleh (otak) manusia.
Solusinya ialah sebelum berdoa orang hendaknya sungguh-sungguh dengan sepenuh hati mengheningkan batinnya terlebih dahulu sejenak. Sekitar kurang lebih setengah menit. Tetapi sebegitupun akan terasa sangat lama kalau dilakukan di depan publik bagi merka dengan hati serba tergesa-gesa; yang menantikan kata-kata doa apa yang bakal keluar dari mulut seorang pendoa syafaat tersebut. Hatinya tertuju pada mulut pendoa dan masih belum terbuka dan tertuju kepada Tuhannya.
Jakarta, 22 Februari 2007.
Mang Iyus