AMANAT SOSIAL ALKITAB
AWAL KATA
Kesaksian iman Gereja Purba yang tercatat dalam Alkitab diterima sebagai hal normatif bagi iman Gereja sekarang. Maka pemahaman yang benar terhadap pesan Alkitab semakin penting bagi kita sekarang. Namun untuk itu kita menghadapi banyak kendala : dari diri kita sendiri dan dari Alkitab.
Meski sudah banyak kemajuan dibanding beberapa tahun lalu namun kita belum terbiasa dengan Alkitab, situasi yang berbeda antara masyarakat jaman Gereja Purba dan masyarakat kita, mentalitas dan pandangan kita terhadap Alkitab dan sebagainya. Yang tak diperhatikan : adanya tema pokok dan tema-tema besar yang muncul dari tema pokok. Tema-tema ini selalu diulang dengan satu dan lain cara, dijelaskan dengan kata, perumpamaan, kisah dan sebagainya. Bila tema pokok dan maknanya diabaikan maka kita jatuh dalam penafsiran sempit yang menyesatkan.
Di bawah ini kita lihat tema pokok dan tema-tema besar dalam Alkitab, agar membantu pemahaman kita.
1. PADA AWAL MULA : KEBAJIKAN DAN KEJAHATAN
Dalam dua bab pertama Kitab Kejadian, kisah umat manusia diawali dengan lukisan iman mereka. Keadaan yang baik pada awal sejarah manusia itu sering disebut keadaan asli. Penulis Kitab Kejadian tidak bermaksud melukiskan sejarah manusia secara ilmiah, melainkan ingin mengungkapkan kehendak Allah terhadap dunia. Dengan memakai kisah yang ada di jaman itu penulis mau menjelaskan iman dan nilai utama yang diyakininya.
Manusia diciptakan menurut citra Allah, sehingga manusia mampu mengerti dan mengasihi PenciptaNya. Karena manusia diciptakan menurut citra Allah, manusia mempunyai martabat yang menempatkan diriNya di atas cipataan lain (Kej. 1 ; 27). Persahabatan antara pria dan wanita menghasilkan 'bentuk awal' dari persatuan antar pribadi. Manusia saling membutuhkan guna mengembangkan kemampuan mereka, dan mereka dalam keadaan baik (Kej. 1 : 31)
Manusia dunia pada jaman penulis Kitab Kejadian hidup sangat berbeda dari jaman keadilan asli. Pada jaman penulis Kitab Kejadian dunia banyak dipenuhi dengan kekejaman dan ketidakadilan. Maka, dia menghadapi masalah teologis untuk menjelaskan : bagaimana keadaan sosial yang tidak sesuai dengan keadilan asli itu muncul dan berkembang. Satu-satunya penyebab menurut refleksi imannya, karena adanya dosa yang telah meracuni masyarakat. Pemberontakan manusia terhadap Allah merupakan kejahatan penyalaj gunaan kebebasan manusia. Manusia menentang Allah dan lebih suka menuruti kehendak sendiri, yang tidak sesuai dengan rencana Allah. Tindakan ini mempunyai akibat yang luas pada pribadi dan masyarakat manusia. Pria dan wanita mengalami ketegangan dalam hubungan mereka karena adanya dosa (Kej. 3 : 16).
Penulis Kitab Kejadian memperlihatkan bagaimana akibat dosa itu berlipat ganda dalam tujuh bab berikutnya. Kain membunuh Abil, adiknya, dan menghindari tanggungjawab sosialnya terhadap Abil, "Apakah aku penjaga adikku?" (Kej. 4 : 9). Kejahatan manusia terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dengan akibat manusia semakin mengalami keterasingan satu dari yang lain. Orang berbangga sebab dapat membunuh musuhnya "tujuh puluh kali tujuh" (Kej. 4 : 17-24). Akhirnya Allah menghukum kejahatan manusia dengan air bah, sebab tak berguna mempertahankan dunia "yang penuh dengan kekerasan" (Kej. 6 : 133).
Keadilan Allah senantiasa diimbangi dengan belas kasihNya. Dia mengadakan perjanjian dengan Nuh. Dalam perjanjian itu Nuh dituntut menurut tatanan sosial baru, " siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah menciptakan manusia menurut citraNya sendiri."(Kej. 9 : 6).
2. RUJUK DAMAI (rekonsiliasi) : JALAN KEADILAN
Setelah itu Kitab Suci banyak mengisahkan usaha manusia untuk dirujuk damaikan dengan Allah dengan menjalankan hidupnya secara adil (dalam Kitab Suci kata benar untuk mengganti kata adil) dalam masyarakat. Abraham menerima janji Allah yang berlaku untuk keturunannya jika setia kepada Allah. Abraham menolak untuk bersengketa dengan Lot, saudaranya, dan memilih jalan damai (kej. 13 : 8-10). Alasan yang diberikan sederhana, "kita ini saudara". Watak Abraham ini bertentangan secara mutlak dengan Kain, yang menggunakan kekerasan dan menolak penyelesaian damai dengan Abil. Iman Abrahan ini tak terlalu 'intelektual', akan tetapi merupakan 'sikap' yang mau mempercayakan sepenuhnya kepada Allah. Karena alasan itu ia disebut orang benar (kej. 15 : 6). Pada Bapa bangsa berikutnya, (Ishak, Yakub dan Yusuf) adalah orang-orang yang melaksanakan iman mereka dalam hidup bermasyarakat. Mereka menerima tanggungjawab sosial sebagai bagian dari kehidupan moral mereka, dan merekapun disebut orang benar.
Pada jaman Yusuf bangsa Yahudi berpindah ke Mesir; dan di sana mereka diperbudak dan ditindas (kej. 37-50; Kel. 7, 1-7). Musa dipanggil Allah untuk memimpin umatNya keluar dari perbudakan di Mesir menuju ke tanah Perjanjian (Kej. 3, 7-12). Usaha pembebasan ini makan waktu empat puluh tahun. Waktu itu digunakan untuk mendidik umat menjadi suatu bangsa selama perjalanan mereka di padang gurun. Kekerasan hidup di Padang Gurun mempersatukan mereka menjadi suatu bangsa dan menanggapi keselamatan bersama-sama.
Allah memperbaharui perjanjianNya dengan umat di Sinai (Kej. 19, 3-11) dan memberikan kepada mereka sepuluh perintah (Kel, 20, 1-11). Dalam perjanjian ini umat dituntut agar memperlakukan budak belian secara adil (kel. 21, 1-11), menghargai milik sesama (Kel. 22, 12-17 ; 21, 18-37). Dan memberikan perhatian khusus kepada orang asing, janda dan yatim piatu (Kel. 22, 20-27). Selain itu mereka dituntut agar memperlakukan khusus dan orang melarat secara layak (Kel. 23, 1-7). Mereka harus istirahat dan mengadakan restorasi pada hari ketujuh, sebab kekuatan Allah yang telah membebaskan mereka dari Mesir harus dirayakan pada tahun itu. (Kel. 23, 10-13). Tanggung jawab sosial harus menjadi ciri pokok mereka sebagai umat Allah (Im. 199, 15).
Setelah bertahun-tahun berjuang, akhirnya mendiami tanah perjanjian (Yos. 1, 21). Mereka mengembangkan peradaban sampai pada suatu saat mereka melihat kebutuhan untuk memiliki seorang raja. Sebagaimana dipunyai oleh bangsa-bangsa disekitarnya. Namun Samuel menentang keinginan rakyat, sebab sistem tersebut menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan serta penderitaan umat (I Sam. 8, 10-22). Sistem kerajaan menimbulkan ketidakadilan sebab dalam sistem itu satu orang menguasai seluruh bangsa, sedangkan hanya ada satu penguasa yaitu Allah.
Ketidak adilan sistem kerajaan tidak didiamkan Allah. Dia memanggil sejumlah pria dan wanita untuk menjalankan tugas sebagai nabi, agar keadilan sosial dilaksanakan. Para nabi merupakan pribadi-pribadi ideal masyarakat. Mereka menyerukan pada rakyat agar mereka menjalankan tanggungjawab sosial, sebagaimana telah dialami di padang gurun, yakni dengan menempatkan Allah sebagai pusat kehidupan masyarakat (Yer. 2, 2 ; Hos. 13, 5; Am. 2, 10). Para nabi mengutuk kenikmatan dan kemewahan hidup masyarakat saat itu (Am. 3, 15; 6, 8) dan melihat keselamatan Allah akan segera datang (Hos. 2, 16-17; 12, 10). Para nabi tidak memandang hidup di padang gurun sebagai ideal untuk pembaharuan sosial, tetapi mereka melihat nilai sosial hidup di padang gurun sebagai bagian dari rencana keselamatan Allah. Mereka juga melihat pertobatan pribadi maupun masyarakat sebagai hal pokok bagi perujukan-damai yang utuh dalam masyarakat.
Yeremias 22, 15-17 menunjuk tindakan adil sebagai tanda bahwa umat mengasihi Allah. Tuhan bertanya : "Bukankah itu namanya mengenal aku?" Sedangkan Mikha menganjurkan agar umat "berbuat dengan adil, mengasihi dengan tulus dan berjalan dengan rendah hati bersama Allah" (Mik. 6, 9-14). Pertobatan sosial yang dianjurkan para Nabi tidak terlaksana selama mereka hidup, sebab rakyat yang menolak anjuran tersebut membunuh mereka dengan tangan sendiri.
Jesus sepaham dan memperkembangkan pelayanan rujuk damai melalui tindakan adil ini. Dia menyatakan diri sebagai yang harus datang untuk : "menyampaikan kabar baik pada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitahukan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Luk. 4, 18-19). Dia mendesak umat agar memperlakukan orang lain sebagai saudara. Jesus memperluas panggilan ini tidak hanya untuk orang Yahudi saja, melainkan juga untuk semua orang, sehingga tugas ini sebagai upaya persatuan bagi semua orang. Jesus berdoa agar kita bersatu sebagaimana Dia dan Bapa adalah satu (Yoh. 13, 33-35). Dia juga menyerukan bahwa persaudaraan yang dimaksudkanNya mencakup sikap mengasihi musuh (Mt. 5, 43-45). Dan semua hukum menurut Jesus, terpenuhi dalam hukum utama : cinta kasih (Mt. 22, 34-40). Dalam kasih semuanya menjadi mungkin.
Jesus memperlihatkan perhatian khusus terhadap orang melarat dan tertindas (Mt. 11, 15; 19, 221; Mk. 10, 21; 12, 42-43; Lk. 14, 13; 18,22). Orang melarat dan tertindas adalah alasan utama kehadiranNya di dunia, maka sikap dan perbuatan kita terhadap mereka sama dengan sikap dan perbuatan kita terhadap Jesus. Apa yang kita lakukan terhadap orang kecil menjadi patokan keselamatan kita (Mt. 25, 31-40). Dalam injil banyak dijumpai Jesus mempertemukan diriNya dengan orang-orang, yang oleh masyarakat dipandang tak berharga bahkan berdosa. Juga banyak wanita, yang oleh warga dipandang sebagai warga kelas dua, diikutsertakan dalam perutusan (Lk. 7, 11-17; 7,36-50; 10, 38-42)
Pengajaran Jesus ini membuat banyak orang bertobat, akan tetapi kekuatan kejahatan demikian menyatu dengan dunia, sehingga Dia harus menyerahkan hidupNya melalui salib dan kebangkitan. Warta pertobatan merupakan hal pokok dalam kesengsaraan Jesus. Dia menangisi Jerusalem, "berkali-kali aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau"(Mt. 22, 37). Dia menyadari bahwa kekuatan dosa sungguh besar, tetapi Dia pantang mundur dalam memperjuangkan rujuk-damai ini. Dia sudah melihat sebelumnya apa yang akan terjadi setelah Dia dimuliakan, "Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang kepadaKu". (Yoh. 12, 22). Wafat Jesus memecahkan kekuatan dosa di dunia dan keadilan hanya dinyatakan dalam kebangkitanNya. Akibat dari penebusan Jesus adalah pengadilan terhadap dunia, sedangkan menurut Paulus, akibat dari rujuk-damai melalui salib : "sebab jikalau mereka masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian anakNya, lebih-lebih kita yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidupNya" (Rm. 5, 10) dan " semua ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diriNya dan yang telah mempercayakan pelayanan perdamaian tersebut kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus dengan tidak memperhitungka pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita perdamaian tersebut kepada kami. Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus , seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami ; dalam nama Kristus , kami meminta kepadaMu; berilah dirimu didamaikan dengan Allah." (2Kor. 5, 18-20). Rujuk damai berarti berbalikNya umat pada Allah setelah beberapa saat terpisah dari Allah karena dosa. Akibat rujuk damai tersebut adalah kebebasan, keadilan, persatuan dan damai. Orang Kristiani tidak lagi hidup dalam dunia yang bermusuhan, tetapi telah rujuk damai dengan Allah, dan karenanya dipanggil untuk mewartakan rujuk damai tersebut. (2Kor.5, 16-21)
3. PENEBUSAN : ALASAN DASAR TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Makna penebusan berkembang sepanjang proses sejarah keselamatan. Pertama, istilah penebusan dipakai untuk suatu bentuk bantuan dalam hal materiil atau dalam hal bahaya (Hak. 15, 18; 1Sam. 10, 19; 2Sam. 22, 3). Kemudian istilah tersebut diterapkan pada umat Allah yang dibebaskan dari perbudakan dari Mesir (Kel. 14, 13; 15, 2). Pada jaman pembuangan istilah tersebut berarti pembebasan dari pembuangan di Asyiria dan Babylonia (Yes. 45, 17; 46, 13; 52, 10) dan akhirnya setelah jaman pembuangan sangat ditekankan makna pembebasan dari dosa (Yer. 33, 22; Yehez. 26, 28). Penebusan adalah penyelamatan yang dibawa oleh Jesus ke dunia (Hib. 11, 7; 1Pet. 3, 30).
Setiap pengalaman penebusan mengajak umat beriman untuk mengakui pembebasan yang telah diterimanya dan menanggapi dengan rasa syukur dalam tindak nyata. Kitab Ulangan 24 menandaskan rasa syukur ini dengan mengingatkan umat Yahudi bahwa mereka harus melaksanakan tindak keadilan pada orang melarat, orang asing, buruh dan sebagainya, sebab mereka sendiri telah dibebaskan Allah (Ul. 24, 5-11) sebab "haruslah kau ingat, bahwa engkau dahulu budak di Mesir dan engkau ditebus Tuhan, Allahmu, dari sana ; itulah sebabnya Aku memrintahkan engkau melakukan hal ini (Ul. 24, 18). Peringatan untuk mengenang karya Allah dengan melakukan tidak nyata terhadap orang melarat dan sengsara mendapat perhatian istimewa (Kel. 22, 20 ; 23, 9; Im. 19, 34; 25, 13-16; Yes. 10, 1; Yehez. 45, 10; 47, 22; Am. 8, 5)
Jesus melanjutkan mengajar tanggungjawab sosial berdasar penebusan ini dalam perumpamaan tentang pengampunan (Mt. 18, 23-35). Hamba yang jahat tersebut telah menerima pengampunan, tetapi diri sendiri tidak mau mengampuni sesamanya; oleh karenanya dia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Wafat Kristus adalah contoh utama bagi manusia(1Pet. 2, 21; Mt. 16, 24; Lk. 14, 27) umat Kristiani yang mengikuti Jesus harus mampu melaksanakan hukum kasih yang baru (Rom. 8, 1-11), yang menurut Paulus kita harus berbuat seakan-akan "orang yang sudah terbeli"(1Kor. 6, 20)
Thema penebusan mendorong kita untuk bertindak dengan rendah hati. Kerendahan hati membuat resiko perjuangan demi keadilan, yang kita lakukan , nampak kecil bila dibandingkan dengan kematian Jesus. Kita menghayati pembebasan dari dosa dengna melaksanakan keadilan terhadap sesama, khususnya yang miskin, tertindas dan tersingkirkan.
4. KESETIA-KAWANAN UMAT ALLAH
Membaca hal-hal yang berhubungan dengan kemiskinan dan kekayaan dalam Kitab Suci secara gerambyangan, akan menyebabkan suatu kesimpulan seakan-akan Allah membenci orang kaya dan hanya mengasihi orang melarat dan tidak pernah menyinggung golongan menengah. Kesimpulan ini dapat berbahaya, sebab untuk mengerti maksud kata-kata Jesus, perlulah kita melihatnya lebih teliti. Kitab suci tidak menyatakan bahwa kekayaan tersebut mengubah hubungan sosial dan muncul golongan atas dan menengah, serta akibat penyelewengan yang dilakukan golongan tersebut. Akibat munculnya golongan menengah dan atas, yakni kelompok masyarakat yang mengumpulkan kekayaan lebih daripada yang dibutuhkan, membawa akibat praktis munculnya orang yang tidak kebagian dan menjadi orang yang tergantung pada orang kaya (Am. 5, 7-12). Dalam jaman tersebut orang kaya bahkan tega memeras janda dan memanfaatkan yatim piatu demi kekayaan mereka (Am. 4, 1; 6, 1-14; 8, 4-14; Mik. 3, 2; Yes. 5, 8-24; Yer. 5, 28). Para Nabi menentang tindak kesewenang-wenangan tersebut dengan tegas dan 'mengadili orang kaya yang berbuat tidak adil'
Injil sinoptik melanjutkan corak pengajaran para nabi. Jesus menegaskan bahwa kekayaan ancaman bagi Kerajaan Allah sebagai penguasa tunggal atas segala ciptaan (Lk. 12, 15-20; Mt. 6, 24). Perhatian terhadap kekayaan dapat membekukan hati akan kebutuhan sesama (lk. 16, 19-31) dan menyebabkan orang tersebut kehilangan keselamatan. Di lain pihak orang melarat dapat membawa orang pada keselamatan (Lk. 6, 20; Mt. 5, 3). Orang melarat mempunyai tempat khusus di hati Allah, mereka disebut anak-anak Allah (Am. 2, 7 ; Yes. 3, 13-16; Mik. 2, 8-11; 3, 1-4). Kemelaratan akan menguatkan sikap mempercayakan diri sepenuhnya pada Tuhan daripada pada benda duniawi, tetapi Jesus tidak menganjurkan agar kita menjadi orang miskin, tetapi Jesus menentang keterikatan manusia pada benda duniawi yang fana.
Penulis Kitab Suci tidak mengajarkan kebencian antar golongan (seperti dianjurkan Karl Marx), sebaliknya mereka berusaha untuk mendorong pertobatan semua orang, agar kesetiakawanan antar manusia dapat terwujud. Memiliki kekayaan melimpah di tengah kemelaratan yang merata memperlihatkan tidak adanya kesetiakawanan dalam masyarakat. Setiap orang berebut memenuhi kebutuhan pribadi dan bukan mencari kebaikan bersama. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa rasa belas kasih antar sesama tidak berkembang.
Jesus mengetahui bahwa terlalu memperhatikan pemilikan harta duniawi dapat menciptakan kesukaran besar dalam hidup seseorang (Mt. 19, 23-26). Tujuan Kristus ialah menciptakan persatuan dalam masyarakat, yang bersama-sama berusaha mewujudkan kesetiakawanan di dunia bagai dalam satu keluarga. Sabda bahagia dengan jelas memperlihatkan ajaran kesetiakawanan ini. Dalam Kerajaan Allah (Mt. 5, 3-10) pada empat bagian pertama sabda bahagai ditujukan untuk orang melarat dan tertindas. Mereka ini adalah orang yang mengalami tindak ketidakadilan. Sedangkan empat bagian kedua ditujukan kepada para nabi dan pembela orang melarat. Mereka ini adalah pejuang perdamaian dan mereka harus menderita justeru karena mereka memperjuangkan keadilan. Sabda bahagia mengajarkan bahwa kita seharusnya bersyukur karena karunia Tuhan, dan sekaligus harus senantiasa siap dan rela untuk berbagi karunia dengan orang lain yang membutuhkan. Kesetiakawanan adalah tuntutan dasar bagi masyarakat yang mau melayani sesama.
5. HAMBA ALLAH YANG MENDERITA : RESIKO DEMI PELAYANAN
Lagu hamba Allah yang menderita dalam Kitab Yesaya memperlihatkan gambaran tentang pengorbanan yang perlu bagi seseorang yang mau setia pada Allah. Lagu-lagu tersebut(Yes. 41, 1-4; 49, 1-7; 50, 49-52; 13-53; 12) nenunjuk dua pelaku , yang pertama dan utama adalah mesias sendiri, sedangkan yang kedua adalah orang-orang yang mengikuti mesias tersebut. Hamba tersebut adalah korban yang tidak berdosa yang rela menderita untuk mewujudkan keadilan bagi semua bangsa (Yes. 42, 1)
Perjanjian Baru memandang Jesus, dan juga para pengikutnya sebagai pemenuhan nubuat Yesaya. Bagian teks tersebut dikutip dalam pembabtisan Jesus (Mk. 1, 11) dalam hubungan dengan mukjijatNya (Mt. 8, 17), dalam kerendahan hatiNya (Mt. 12, 18) dan wafatNya (Mk. 10, 45). Paulus memandang dirinya sebagai hamba yang harus menderita guna melanjutkan perutusan Jesus (Gal. 1, 15; Rom. 15, 21).
Thema hamba yang menderita mengingatkan orang Kristiani bahwa perjuangan demi keadilan mungin akan menyeretnya pada penderitaan serupa, tetapi kemenangan terakhir dari keadilan akan tetap tercapai (Yes. 42, 6) Krisus merupakan teladan kita dalam memperjuangkan keadilan dan sekaligus menjadi sumber kita dalam menegakkan keadilan.
6. KERAJAAN ALLAH : HARAPAN KITA
Kita dapat menemukan pokok-pokok dalam Kitab Suci yang sejajar dengan situasi sosial tertentu. Maka itulah sebabnya Jesus mencela orang Yahudi karena mereka tidak melihat 'tanda-tanda jaman' dan kemudian mulai merubah sikap hidup mereka sesuai dengan kehendak Allah (Lk. 12, 54-57 ; Mt. 16, 2-3)
Kitab Suci mengajarkan bahwa Kerajaan Allah merupakan kombinasi antara kenyataan saat ini dan mendatang: suatu misteri yang mempersatukan hidup kita sehari-hari dengan kedatangan Kristus yang mulia. Buah dari kehadiran Kerajaan Allah adalah damai, persatuan keadilan dan kebebasan. Buah-buah ini kini sudah tercicipi dan sekaligus merupakan