
Liburan sekolah sudah hampir habis, anak-anak kita masuk sekolah lagi. Apakah ada yang perlu dimaknai? Jangan-jangan libur sekedar libur? Tamasya? Belanja? Shopping? Main-main? Atau bisa jadi selama ini anak-anak ”sekolah sekedar sekolah ?” Mari kita renungkan beberapa kisah nyata ini. Kalau anak-anak muda senang mempertanyakan ”
Kisah pertama, beberapa hari yang lalu saya ikut mengantar teman-teman misdinar wisata rohani ke Jogya sekitarnya. Kebetulan ada acara jalan-jalan ke Malioboro. Dalam perjalanan saya memperhatikan ada seorang anak yang baru saja pulang dari luar negeri, diajak jalan-jalan orang tuanya. Ketika bertemu teman-temannya, dia begitu semangat pamer dengan teman-temannya. Ada hal yang menarik, selain pamer dia juga mengolok-olok teman-temannya: ”Yahh kamu sichh anak tidak mampu, tidak punya duit, papa-mama kamu punya toko kecil....kasian dech elo gak bisa jalan-jalan keluar negeri”(Kira-kira begitulah yang sempat saya dengar sambil jalan menemani teman-teman misdinar di Malioboro).
Kisah kedua, saya pernah bertanya pada seorang anak. Kenapa pingin sekolah? Anak itu menjawab sekolah supaya dapat ilmu, supaya bisa belajar, menambah pengetahuan, banyak teman. Tetapi ada suatu jawaban yang mengejutkan: ”Aku sekolah supaya tidak berlama-lama di rumah dengan papa-mama”.
Kisah ketiga, ketika dalam perjumpaan dengan seorang ibu yang mengantar anaknya ke sekolah. Saya bertanya: ”Kenapa sich orang tua menyekolahkan anak?”. Dia menjawab: ”Untuk anak playgroup dan TK, biar anak di rumah tidak hanya main-main, biar cepat pandai, dan yang jelas saya malas momong di rumah. Untuk SD-PT (Perguruan tinggi) biar mempersiapkan masa depan, biar pinter, biar bisa sosialisasi, mandiri, banyak teman, dsb”.
Memaknai Pendidikan ....
Dari ketiga kisah diatas, nampaknya indah tetapi ada sisi lain yang perlu kita lihat dan kita renungkan bersama. Yahh . . . itulah kenyataan yang memang benar-benar terjadi dalam kehidupan keseharian meskipun sama-sama sekolah (menikmati pendidikan), tetapi buah-buahnya sangat lain. Kisah pertama anak bisa pamer, sombong, sok gengsi, bahkan merendahkan orang lain; ketika perjalanan keluar negeri bersama orang tuanya tidak dimaknai kembali. Apakah orangtua pernah memberikan makna tersendiri tentang liburan dan perjalanan? Yahh. . . mungkin yang memperkaya hati dan pikiran anaknya bukan membesarkan ego dan sok gengsi anak dengan kebanggaan yang tak berguna. Bukan berarti orangtua tidak boleh memberi yang terbaik. Tetapi bagaimana orang tua diajak untuk membantu anak memaknai perjalanan itu dalam banyak hal...bukan hanya untuk dibanggakan "Aku kan baru jalan-jalan keluar negeri!” Atau justru mengajak dan melibatkan anak ke tempat yang membuat dia lebih mengerti tentang hidup dan membuat dia terlibat didalamnya... yang membuat hidup ini jauh lebih indah dan bermakna. Kisah kedua juga nampaknya baik. Tetapi sebenarnya bagaimana hubungan anak dengan orangtua? Kisah ketiga juga bagus, akan tetapi perlu kita cermati jangan-jangan apa yang diungkapkan seorang ibu itu benar. Memang zaman sekarang ada trend seorang ibu malas ”momong” (mengasuh) anaknya. Pokoknya tahu beres dech !!!
Hak semua orang atas pendidikan....
Dalam Dokumen Konsili Vatikah II: ”GRAVISSIMUM EDUCATIONIS tentang pendidikan Kristiani” ditegaskan bagaimana umat Katolik memaknai kembali pendidikan bahwa semua orang berdasarkan martabatnya selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan yang cocok dengan tujuan maupun sifat perangainya, mengindahkan perbedaan jenis, serasi dengan tradisi-tradisi kebudayaan serta para leluhur, sekaligus juga terbuka bagi persekutuan persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain, untuk menumbuhkan kesatuan dan damai yang sejati di dunia.
Dikatakan juga mengenai tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya, dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya. Maka dengan memanfaatkan kemajuan ilmu-pengetahuan psikologi, pedagogi dan didaktik, perlulah anak-anak dan kaum remaja dibantu untuk menumbuhkan secara selaras serasi bakat pembawaan fisik, moral dan intelektualnya. Dengan demikian umat kristiani tahap demi tahap akan mencapai kesadaran atas tanggungjawab mengembangkan hidupnya. Sambil mengatasi hambatan-hambatan dalam dirinya dengan kebesaran jiwa dan ketabahan hati, umat kristiani akan mencapai kebebasan yang sejati. Hendaklah seiring dengan bertambahnya umur anak-anak menerima pendidikan seksualitas yang bijaksana. Selain itu hendaknya anak-anak dibina untuk melibatkan diri dalam kehidupan sosial sedemikian rupa, sehingga memperoleh bekal yang menunjang anak berintegrasi secara aktif dalam pelbagai kelompok kebersamaan manusiawi. Bahkan anak-anak dan kaum remaja berhak didukung, untuk belajar menghargai dengan suara hati yang didasari nilai-nilai moral, serta dengan tulus menghayatinya secara pribadi, untuk makin sempurna mengenal serta mengasihi Allah dan sesama.
Orangtua bertanggung jawab atas pendidikan....
Bagaimanapun juga orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak dan dengan demikian terikat kewajiban amat berat untuk mendidik anak-anak. Maka orang tua harus diakui sebagai pendidik anak yang pertama dan utama. Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga tidak mungkin diabaikan. Sebab merupakan kewajiban orang tua: menciptakan lingkungan keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak. Maka keluarga menjadi lingkungan pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial, yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat. Terutama dalam keluarga kristiani, yang diperkaya dengan rahmat serta kewajiban Sakramen Perkawinan, bahwa anak-anak sejak dini harus diajar mengenal Allah serta berbakti kepada-Nya dan mengasihi sesama, seturut iman yang telah mereka terima dalam Sakramen Baptis. Disitulah anak-anak menemukan pengalaman pertama sebagai anggota masyarakat yang sehat serta warga gereja yang baik. Melalui keluargalah anak-anak lambat-laun diajak berintegrasi dalam hidup menggereja dan bermasyarakat. Maka hendaklah para orang tua menyadari, betapa pentinglah keluarga yang sungguh kristiani untuk kehidupan dan kemajuan umat Allah sendiri. Tugas menyelenggarakan pendidikan, yang pertama-tama menjadi tanggung jawab keluarga, tetapi masih memerlukan bantuan seluruh masyarakat.
Pentingnya Pendidikan ......
Dalam dunia yang sarat dengan berbagai perubahan ini, pendidikan mempunyai makna yang istimewa. Selain pendidikan mengembangkan kemampuan akalbudi, juga menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat atas kehidupan, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa untuk menghidupi kejujuran, memupuk persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-perangai maupun situasi kondisi hidupnya, serta mengembangkan sikap saling memahami.
Tidak bisa dipungkiri, pendidikan merupakan pusat kegiatan kehidupan. Ada suatu komentar dari seorang ahli pendidikan yang menurut saya baik untuk dikaji dan direnungkan: ”Sekolah untuk hidup. Sekolah bukan sekedar menumpuk piala penghargaan, gedungnya megah, nama sekolah ditambahi dengan plus atau embel-embel internasional. Apalagi kalau sekolah sekedar canggih matematika, fisika serta fasih berbahasa Inggris, Mandarin dll.”
Pendidikan yang hanya mengejar prestasi akan menjadi pendidikan semu. Untuk tidak mengatakan sebuah pengkhianatan terhadap pendidikan itu sendiri. Pendidikan akan menghasilkan manusia yang rapuh dan jiwa yang hampa dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata jika pendidikan hanya menciptakan kemampuan intelektual tanpa membangkitkan hati nurani. Pendidikan harus memiliki "semangat" yang mengembangkan nilai-nilai bijak, dan mengarahkan pada kecerdasan intelektual/ akademik atau Intelegence Quotient (IQ), kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (IQ), dan kecerdasan spiritual atau Spiritual Quetient (SQ).” Masih menurut ahli pendidikan, sejauh saya tangkap dari suatu seminar; bahwa EQ dan SQ sangat berperan dalam menunjang keberhasilan seseorang dalam perjuangan hidupnya. Kearifan untuk mengendalikan emosi justru akan menunjang bekerjanya nalar dan intelektual. EQ akan membangun motivasi, empati, kemampuan untuk memahami diri sendiri dan orang lain, sifat simpatik, solidaritas, dan interaksi sosial yang tinggi. Sementara SQ akan membimbing suara hati yang jernih mengarahkan kita kepada kebijaksanaan: berani menghadapi hidup dengan optimis, kreatif, fleksibel, dan visioner, serta memberikan kekuatan moral, memberikan kepastian jawaban tentang sesuatu yang baik dan yang buruk, serta bertanggung jawab atas hidup dan lingkungannya. Semua itu akan mewujudkan kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang dan ketahanan dalam menghadapi tantangan hidup.
Semoga anak-anak dan kita semua tidak sekedar sekolah, tetapi sekolah untuk belajar kehidupan (bdk. Amsal 1:1-7).
Dominus Vobiscum.
(Sumber: RD. @d@m SoeN di Buletin Paroki Nuansa Kasih, Minggu 13 Juli 2008)